Hanifan cakep Ifan cakep AA cakep Mamanie and her sons Farhan cute Farhan lucu Farhan imut

Monday, June 13, 2005

Apa yang bisa kupersembahkan bagi kehidupan ini ?

Sabtu pagi seperti biasa “kerja bakti” kulakukan. Mencuci pakaian, perabotan, beres-beres rumah, menyiram tanaman, membersihkan debu-debu yang tak pernah tersentuh di hari-hari biasa dan banyak lagi. Tapi Sabtu pagi itu aku mengerjakannya seorang diri, sepi…………. Suami bertugas ke luar kota, sedangkan anak-anak berlibur di rumah neneknya.

Aku setel radio keras-keras agar menutupi kesepian ini. Kupindah-pindahkan channel TV hanya untuk agar terasa ada yang “menemani”…hm….hanya berita-berita infotainment yang itu-itu saja…….bosan……..
Akhirnya jam dua belas siang, semua pekerjaan selesai.

Bosan dan sepi melanda hatiku ini. Tring…….. akhirnya aku dapat sebuah ide. Kenapa aku tidak mencari buku saja yah, buku yang sudah lama aku cari-cari yang hanya ada di Salman ITB. “Yessss…..mumpung suamiku gak ada”.

Akhirnya meluncurlah aku ke Salman ITB yang jaraknya lumayan jauh dari rumahku. Tapi kalau tujuan sudah bulat, jarak tak jadi masalah.

Sesampai di sana, tentu saja banyak perubahan yang terjadi. Terakhir ke sana sekitar tahun 90-an. Tapi halaman yang sejuk dengan pohon-pohon besar tetap tak berubah. Teduh, asri, bersih, aku kagum pada yang merawatnya.

Ternyata di sana sedang ada kegiatan mempersiapkan Pesantren Kilat untuk anak-anak kecil. Kuperhatikan ikhwan dan akhwat yang sibuk mempersiapkan hiasan-hiasan seperti di TK yang mungkin untuk merubah suasana pesantren untuk anak-anak, agar pesantren tidak monoton dan menjemukan.

Kupandangi akhwat-akhwat yang berpakaian jilbab. Ups…aku malu pada diriku sendiri. Aku yang juga memakai jilbab, tapi mengenakan jeans ketat dan kerudung yang “mengikuti mode”. Memang penggunaan jilbabku akhir-akhir ini mengalami degradasi.
Hm…pakaianku dulu seperti mereka, tapi sekarang …………

Kutuju toko buku yang dulu sering aku kunjungi. Tapi sudah berubah menjadi lab komputer. Akhirnya atas kebaikan seorang ibu penjaga sandal dan sepatu, aku diantarkan ke toko buku dimaksud yang sudah pindah ke lantai dua. Seandainya tak ada ibu itu, aku sulit sekali mencari toko buku yang letaknya sangat tersembunyi.

Kupandangi rak buku satu persatu. Tak ada buku yang kucari. Ah… mungkin mataku kurang jeli. Kutelusuri kembali rak demi rak, tahap demi tahap, tapi pencarianku nihil. Karena toko itu hampir tutup, maka kuberanikan diri menanyakan keberadaan buku itu pada penjaga toko. Ternyata buku itu tak ada dan tak dikenal. Kenapa sulit sekali mencari buku itu di Bandung yah……...

Dengan langkah gontai kutinggalkan toko itu. Hari menjelang sore. Tapi aku tak mau pulang dengan tangan hampa. Dengan harapan kecil aku berjalan memutar melalui belakang mesjid. Masih sepi. Aku ikuti kemana kakiku melangkah. Dan terlihatlah kios-kios buku kecil berjajar rapi di belakang mesjid itu. Ragu aku mau menghampiri kios itu, karena aku pikir hanya kios buku-buku bekas. Tapi akhirnya aku memberanikan diri tuk bertanya. Dan….. ternyata…. Buku itu ada !!!! Alhamdulillah……….

Kubaca daftar isinya, beberapa telah kubaca dari kiriman milist DT. Tapi banyak juga yang belum aku baca. Sungguh indah isi buku itu. Banyak hal yang membuat aku trenyuh. Sabar dan syukur banyak dicontohkan dalam buku itu. Sungguh pandai para penulis itu merangkai kata, menyentuh hati. Membuat diri ini makin terasa kecil. Mereka bisa mempersembahkan karya mereka bagi kehidupan. Dengan tulisan mereka mungkin bisa mengubah kehidupan seseorang untuk menjadi lebih baik.

Lalu apa yang bisa kupersembahkan untuk kehidupan ini ???

Sejenak aku merenung, di usiaku yang sudah melebihi setengah dari usia Rasulullah ini, apa yang telah aku perbuat untuk orang lain ? Aku tak ada manfaatnya untuk orang lain. Diri ini hanya egois memikirkan kebahagiaan sendiri.

Tiba-tiba hati ini teringat seseorang yang sangat aku kagumi.Yang hidup seorang diri. Tapi kehadirannya selalu didambakan orang banyak. Saudara, sahabat, teman, dan orang-orang yang pernah mengecap budi baiknya. Akhirnya aku menemui dia dan ingin menemaninya di akhir pekan ini. Ungkapan bahagia terpancar ketika kukabarkan aku akan menginap di rumahnya.

Wajah yang terlihat selalu tersenyum, menutupi kerut-kerut halus di seputar matanya. Dirinya yang selalu ingin terlihat tegar, tetap tak dapat menyembunyikan “derita” dalam hidupnya. Di usianya yang hampir setengah abad, dia tetap hidup seorang sendiri.

Dia bibiku, adik dari ibuku. Dia adalah ibu kedua bagiku. Dia sangat dekat denganku. Dan aku merasakan, akulah keponakan yang paling disayang olehnya. Dia sangat-sangat dekat dengan kehidupanku dulu. Dari mulai mencuci “Bali”ku pada saat aku lahir, dia yang membantu mencuci popokku, menggendongku, mengajakku bermain, dan semua yang selalu dilakukan ibuku padaku.

Saat kakekku yang pegawai swasta pensiun dari pekerjaannya. Bibikulah yang menjadi tulang punggung keluarga kakekku. Sementara kakak-kakaknya yang telah berumah tangga, telah sibuk memikirkan keluarganya masing-masing. Bibiku membanting tulang menghidupi kakek dan nenekku dan ketiga adiknya yang masih bersekolah.

Sampai detik terakhir usia kakekku, dia yang menanggung semua biaya pengobatannya. Kemudian dia berusaha membahagiakan sisa usia nenekku sampai detik terakhir kehidupannya juga. Dia tak pernah memikirkan dirinya. Cita-citanya hanya ingin membahagiakan ayah dan ibunya, juga semua orang yang dikenalnya.

Tahun demi tahun ia lalui dalam kesendirian. Walaupun usianya sudah sangat matang untuk berumah tangga, tapi dia tidak ingin melakukannya sebelum adik-adiknya “mentas” semua. Sungguh pengorbanan yang tiada tandingnya.

Selain itu dia pun tak pernah menutup mata melihat keadaan kakak-kakaknya yang kurang mampu. Biaya sekolah keponakannya pun tak jarang ia bantu. Dia membantu keponakan-keponakannya seperti aku. Saat sekolah dulu, dia suka berkirim surat padaku dengan tak lupa menyelipkan uang jajan di sela2 lipatan suratnya. Dan itu dia lakukan untuk semua keponakannya.

Kata-katanya selalu keluar dari bibirnya yang tipis dengan sangat bijak. Anak buahnya pun selalu menjadikan dia tempat curhat yang sangat enak. Gores-gores kecantikan wajahnya membuat tak sedikit pria yang berusaha mendekatinya. Gayanya yang sedikit maskulin, bisa menutupi usia yang sebenarnya. Tetap cantik, menarik, dan bergaya bak anak muda. Tapi pria-pria itu selalu ditepisnya begitu saja. Dia ingin menyelesaikan “tugas”nya dulu tuk mensukseskan adik-adiknya.

Satu persatu adiknya berkeluarga. Demikian juga kami, keponakannya, meninggalkan dirinya tuk membangun bahtera rumah tangga. Tinggallah dia seorang diri.
Sunyi memang selalu dirasakannya. Tapi dia bunuh kesunyian itu dengan berbagi. Berbagi kepada siapa saja yang selalu membutuhkan pertolongan. Tukang kebun, tetangga, office boy, ah… terlalu banyak orang yang telah merasakan kebaikannya.

Dia merasa tak ada lagi ladang amal yang besar. Ayah sudah tiada, ibu pun sudah tak ada lagi. Sementara suami dan anak yang diharapkan menjadi ladang amal pun tidak dia miliki. Dia hanya menabur kebaikan. Dia menjadikan hidupnya bermanfa’at bagi semua orang. Tak hanya materi yang diberikan, tapi petuah dan nasehat pun tak pelit dia berikan pada siapa saja yang membutuhkannya. Dia berprinsip “Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, lalu kita mati pun harus meninggalkan sesuatu yang orang lain akan tetap mengenang kita”.

Tapi “deritanya” terlihat jelas di akhir pekan itu. Hanya kepada akulah dia mencurahkan isi hatinya. Sungguh………..suatu pengorbanan diri yang luar biasa. Setitik air bening mengambang di kelopak matanya. Dia berkata “Jika aku diberi umur panjang nanti, tapi tua dan sakit-sakitan, kirimlah aku ke Panti Jompo”.

Duh……sakit rasanya mendengar kata-kata itu. Dia merasa tak punya siapa-siapa di hari tuanya nanti yang akan merawatnya seperti seorang anak yang akan merawat ibunya.
“Jangan berkata seperti itu,Bi…………, Semua orang tidak akan menyia-nyiakan Bibi. Semua orang sayang Bibi sebagaimana Bibi menyayangi kami semua. Bibi tak akan sendiri di hari tua nanti. Karena Bibi telah bermanfa’at bagi kami semua, dan Bibi sudah mempersembahkan sesuatu untuk kehidupan ini”.

Rasanya mendengar semua ceritanya, aku sangat tak ada nilai dalam kehidupan ini. Egois, mementingkan kebahagiaan sendiri dan menutup mata pada penderitaan orang lain. Tak ada yang merasakan manfa’atnya dengan keberadaanku. Tak ada yang akan merindukan saat aku meninggalkan dunia ini.

Lalu apa yang bisa kupersembahkan bagi kehidupan ini ???

Sebuah perjalanan mencari makna kehidupan menjelang “hari jadi”


Nie Troozz

1 Comments:

At 12:22 PM, Blogger Gawtama said...

wah besok ultah nih... kasih kado apa ya???

 

Post a Comment

<< Home