Hanifan cakep Ifan cakep AA cakep Mamanie and her sons Farhan cute Farhan lucu Farhan imut

Tuesday, June 28, 2005

Sebening Mata Air di Surga (bagian-II)

Riri, Risya Nadhifa Salsabila, itulah nama panjangnya. Risya adalah perpaduan nama kedua orang tuanya, Nadhifa artinya bersih, dan orang tuanya berharap Riri akan bersih hatinya, bersih akhlaqnya, dan Salsabila berarti mata air di surga, yang bersih, bening, dan akan membersihkan semua noda dan dosa. Itulah nama sekaligus do’a yang diberikan orang tua Riri padanya.

Riri bercita-cita ingin seperti namanya, bersih tak bernoda. Dia berusaha menghindari hal-hal yang tidak Allah ridhoi. Dia berusaha hanif dalam segala urusannya. Dia ingin hidupnya istiqomah dan bening, sebening mata air di surga.

Riri yang dilahirkan dan besar di Kota Kembang, tumbuh menjadi gadis yang terlihat anggun karena jarang bergaul ke luar rumah. Malah sering diledekin teman-temannya sebagai gadis pingitan. “Mojang Priangan, Mojang Pingitan.” Tapi setelah bergabung dengan remaja mesjid, Riri sudah bisa bergaul dan membuka diri.

Hari-hari Riri pun semakin bermakna. Dengan mengajar Iqro anak-anak TK itu, ada sedikit ilmu yang bisa dia amalkan. Riri ingin sekali memenuhi tiga amal yang tidak putus-putus itu walaupun sudah meninggal dunia : shodaqoh jariah, ilmu yang bermanfaat dan do’a anak yang sholeh.
Ya Allah, mudah-mudahan ini menjadi jalanku untuk memenuhi salah satu catatan amal baikku” begitu do’a Riri setiap memulai mengajar anak-anak kecil itu.

“Kang Denys, jangan panggil aku Teteh dong, just call me…. Riri”.
“Tapi kan kayak nggak sopan Teh” sahut Denys.
“Ih…umurku kan dibawah Akang, jadi panggil saja aku …..Ri-ri…, okey”.
“Iya deh…terserah Riri aja,” akhirnya Denys mengalah juga.

Semakin hari Riri semakin sering ketemu dengan Denys. Apalagi hari Isra Mi’raj makin dekat. Setiap malam pasti membahas persiapan perayaannya dan pulang sampai malam. Jadi setiap hari Riri diantar pulang oleh Denys dan sahabatnya, Yayan. Orang Jawa bilang “Witing tresno jalaran soko kulino”. Secara perlahan tumbuh perasaan cinta antara keduanya. Tapi cinta itu tak pernah terucapkan. Hanya curahan perhatian dan kasih sayang yang selalu mereka rasakan.

Perayaan Isra Mi’raj pun tiba. Riri yang bertugas menjadi Pembawa Acara malam itu terlihat cantik dan anggun dengan gaun putih bergaris-garis hitam dan jilbab putihnya.
Acara pun dimulai. Acara pertama seperti biasa adalah lantunan ayat suci Al-Qur’an beserta terjemahannya. Sambil mendengarkan lantunan ayat suci Al-Qur’an itu Riri turun dari panggung yang tingginya sekitar seratus lima puluh centimeter. Ups.. tinggi amat. Ya, hampir setinggi tubuhnya.

Acara pertama selesai. Riri pun naik lagi ke panggung. Ribet memang, dengan menggunakan gaun ini naik turun panggung yang lumayan tinggi.

Acara kedua pun dibacakan. “Sambutan-sambutan”.
“Sambutan pertama disampaikan oleh Ketua DKM. Kepada Bapak Ketua DKM kami persilakan”.
Sambil mendengarkan sambutan, rasanya Riri malas untuk turun dari panggung lagi. Akhirnya panitia memberikan sebuah kursi agar Riri tidak usah turun dari panggung, tapi cukup duduk saja di panggung bagian belakang.

Alhamdulillaah…….. legalah hati Riri, jadi tidak perlu capek naik turun panggung. Kursi pun diletakkan di panggung bagian belakang dan bersandar di kain background panggung. Dengan santainya Riri mendudukkan bokongnya di atas kursi itu.

Tiba-tiba……….braaaaak…… Riri terjungkal, jatuh ke belakang panggung. Dan sudah jatuh tertimpa kursi pula. Ternyata kaki kursi bagian belakang tidak menapak pada lantai panggung, jadi kursi itu bisa tegak karena bersandar pada kain background saja dan tentu saja kain background tidak akan kuat menahan beban tubuh Riri.

Semua penonton terpana. Ada yang kasihan, ada yang tertawa.
Ah… masa bodohlah, pokoknya saat itu pandangan Riri jadi gelap gulita, pingsan sih tidak, dia masih mendengar orang-orang ribut menghampiri dirinya. Tapi tubuhnya tidak bisa digerakkan sama sekali. Nyeri……………
Dan yang paling menyebalkan, Denys malah menertawakan Riri. Hu..uh… Sebel…..

Akhirnya usailah sudah jabatan sebagai Pembawa Acara. Riri hanya berbaring lemah di rumah sebelah mesjid. Nyeri mulai terasa di sekujur tubuhnya. Ada seorang bapak yang berbaik hati mau mengurut tangan dan kaki Riri. Dan yang paling “nyeri” adalah malunya bertemu para tamu undangan yang melihat “terjun bebas” Riri.

***

Di bawah kepemimpinan Denys, Ikatan Remaja Mesjid itu sangat aktif di berbagai kegiatan. Terlihat sekali watak kepemimpinannya yang tegas tapi bisa meraih hati para anggotanya. Misalnya kegiatan bakti sosial ke daerah miskin atau daerah yang tertimpa bencana. Mungkin sumbangannya tidak besar, hanya pakaian bekas yang masih layak pakai dan sedikit uang hasil penjualan koran-koran bekas dan botol-botol bekas. Tapi semua dilakukan dengan ikhlas. Semua anggota bekerja dengan hati yang ringan.

Tak jarang Ikatan Remaja Mesjid itu pun pergi untuk sekedar refreshing untuk mempererat ukhuwah di antara mereka. Mereka meminjam sebuah truk tentara yang besar yang ada penutup bagian atasnya. Mereka diangkut oleh truk itu ke Jayagiri, sebuah tempat di kaki Gunung Tangkuban Perahu.

Perjalanan pun dimulai. Dengan membawa perbekalan makanan secukupnya, mereka mulai mendaki. Riri baru sekali ini ke Tangkuban Perahu dengan cara mendaki. Biasanya kendaraan langsung diparkir di puncak gunung. Tapi sepertinya dengan mendaki ada kepuasan tersendiri.

Sepanjang perjalanan mereka bisa bersenda gurau dengan riang dan sambil mentafakuri keindahan alam. Tapi berhubung semalam hujan lebat, jadi jalanan agak licin dan di beberapa tempat malah becek dan harus mencari jalan lain yang agak memutar.

Tiba-tiba salah seorang remaja puteri ada yang tergelincir dan pingsan. Paniklah semua. Maklumlah mereka bukan para pendaki yang profesional. Perlengkapan pun tidak ada. Tapi dengan gesitnya, Denys mengambil aba-aba untuk menebang ranting kayu yang cukup lumayan besar untuk digunakan sebagai blankar.

“Yang punya ikat pinggang, mohon dibuka dan kita pasang semua ikat pinggang di ranting ini”.
Beberapa orang terlihat membuka ikat pinggangnya dan memberikan pada Denys. Semua ikat pinggang pun dipasang berjajar di antara kedua ranting kayu itu. Dan jadilah sebuah blankar. Dengan dialasi jaket-jaket, remaja yang pingsan pun dibaringkan di atas blankar buatan itu.
“Subhanallaah…” makin terpesonalah Riri pada Denys. Sangat cekatan dalam segala situasi. Tapi selalu hal itu ia simpan di dalam hati.

Mereka pun melanjutkan perjalanan, walaupun beban bertambah berat dengan harus menggotong salah seorang remaja yang pingsan itu. Bergantian mereka menggotong blankar tersebut sampai ke puncak. Dengan jalanan mendaki yang licin dan becek, akhirnya sampailah mereka di puncak Gunung Tangkuban Perahu.

Alhamdulillah…. Semua lelah ini serasa sirna saat telah mencapai puncaknya. Sesampai di puncak, mereka mengadakan perenungan diri, mentadzaburi alam dan mentafakuri kebesaran Ilahi. Sungguh suatu kegiatan yang tak akan terlupakan oleh Riri sampai kapan pun.

(mau tau lanjutannya ?.....he..he... tunggu dech bagian ke-3nya)

Nie Troozz

0 Comments:

Post a Comment

<< Home