Hanifan cakep Ifan cakep AA cakep Mamanie and her sons Farhan cute Farhan lucu Farhan imut

Wednesday, July 13, 2005

Buruknya Berburuk Sangka

“Bu, ada saudara ibu mau ketemu” kata resepsionis kantor via telepon.
“Siapa ?” tanyaku.
“Katanya dari Jalan Laswi” lanjut resepsionis lagi.
“Duh…. Pasti mau pinjam uang lagi” pikirku, “Gimana yah, ini kerjaan banyak banget, tamu yang mau ketemu bos juga udah antri.”
Hatiku memang agak berat menerima kedatangannya.

“Ya udah, suruh naik aja” kataku pada resepsionis dengan berat hati.

Dari kejauhan terlihat saudaraku menyusuri lorong menuju loby kantor. Tubuh kurus dengan pakaian seadanya. Nampak jelas kesusahan hidup dari kerut-kerut di wajahnya. Senyumnya lebar seakan ingin menutupi kesusahan hidupnya.

“Nie, apa kabar ? Kelihatan agak gemuk sekarang. Koq udah lama gak pernah main ke rumah.”
Aku pun menyambut kedatangannya dengan senyum yang dipaksakan.
“Duh…sekarang tuh sibuk banget. Tiap hari pulang malam. Sabtu dan Minggu juga selalu ada acara.”

Aku tunggu kata-kata lanjutannya yang pasti tidak jauh dari soal pinjam meminjam uang.

“Saya kebetulan lewat ke daerah sini, mau cari spare part blender yang rusak. Ini ada makanan kesukaan Akang, kebetulan kemarin masak banyak. Maaf ya ganggu kerja kamu. Sampaikan salam saya buat Akang. Assalaamu ‘alaikum.”

Dia pun berlalu dan aku tidak memberikan uang sepeser pun, walau itu hanya untuk ongkos pulang. Terlihat jelas kekecewaan di wajahnya. Tapi dia tidak berani mengutarakannya. Langkah gontainya kupandangi hingga hilang dari ujung lorong.

Duh… ada rasa perih yang menyusup ke dalam hatiku. Betapa jahatnya hatiku telah berburuk sangka padanya. Aku telah menyangka kedatangannya hanya untuk meminjam uang padaku. Padahal kedatangannya hanya untuk mengirim makanan kesukaan Akang, suamiku.

Tak henti-hentinya aku menyesali diri, betapa jahatnya aku. Hingga sore pekerjaanku tak selesai juga, hingga aku tak sempat mampir ke rumahnya untuk minta maaf. Sepanjang malam tadi fikiranku terus tertuju padanya. Naik apa dia pulang tadi, adakah ongkos di sakunya, atau berjalan kakikah dia menuju rumahnya ? Astaghfirullaah………. Mengapa diri ini setega itu padanya.

Sesak dada ini pada saat melihat rumahnya. Rumah yang hanya sepetak ditempati oleh dia dan tiga orang anaknya. Sementara dua lagi anaknya yang lain telah dipungut oleh saudara, karena dia sudah tidak sanggup membiayai sekolahnya. Berat sekali beban dia menanggung lima orang anaknya, seorang diri karena suaminya telah meninggal beberapa tahun yang lalu.

Warung kecil tempat dia menggantungkan nasibnya, hanya cukup untuk makan sehari-hari. Sehingga untuk biaya sekolah selalu meminjam ke kanan dan ke kiri. Dan semua pinjamannya tidak pernah dikembalikan. Sehingga orang-orang yang pernah memberi pinjaman, enggan untuk memberinya kembali. Termasuk aku yang pada saat tidak memiliki uang lebih, kadang membantu walau mencari “sumber pinjaman” lain, sehingga jika dia tidak mengembalikan, maka akulah yang bertanggung jawab.

Kasihan memang. Tapi karena pernah ada perbuatannya yang mencoreng nama baik keluarga besar, jadilah kami enggan menolongnya. Padahal mungkin dia telah bertobat. Allah saja Maha Pemaaf, kenapa kami begitu sombong untuk memaafkannya.

Melihat fisiknya yang memprihatinkan, rasanya tak tega membiarkan dia tenggelam dalam kefakiran. Mungkin sepulang bertemu aku kemarin ada rasa sakit di dadanya. Ada harapan atas perhatianku padanya. Atau mungkin ada sebait doa pada Yang Kuasa atas ketidakpedulianku padanya.

Ya Allah, ampunilah hati ini yang tidak peka terhadap penderitaan orang lain. Jangan biarkan doa-doanya akan menuntut kami di akhirat nanti sebagai orang-orang yang sombong dan tidak mau peduli.

Maafkan aku yang dhaif ini saudaraku………..


Nie Troozz

0 Comments:

Post a Comment

<< Home