Hanifan cakep Ifan cakep AA cakep Mamanie and her sons Farhan cute Farhan lucu Farhan imut

Friday, July 01, 2005

Sebening Mata Air di Surga (bagian-III-tamat)

Semua kegiatan Ikatan Remaja Mesjid itu makin mempererat hubungan antara Denys dengan Riri. Tapi mereka tidak pernah berpacaran berdua-duaan layaknya para remaja saat ini. Mereka selalu bersama teman-temannya dalam berbagai acara. Adakalanya Denys pun berkirim surat jika ada sesuatu hal yang perlu dibicarakan berdua. Dan suratnya itu langsung diberikan ke tangan Riri. Mereka ingin berpacaran secara islami, yang tidak mengumbar hawa nafsu sebagai bentuk curahan kasih sayang.

Saat sedang membersihkan mesjid, yang selalu rutin dilakukan oleh remaja mesjid itu, Denys menghampiri Riri. Saat itu Riri sedang membersihkan daerah mimbar tempat khotib memberikan ceramahnya.

“Ri, semalam saya bermimpi. Kamu menjadi istri saya dan kita punya rumah yang sangat sederhana. Kita tidur di atas bale-bale kayu yang keras dan dingin. Tapi kamu setia di samping saya”, Denys menarik nafas panjang. Riri hanya terdiam mendengarkan.

“Seandainya hal itu benar-benar terjadi, apakah kamu tetap mau jadi istri saya ?”.
Hening. Tak ada suara. Riri tak tahu harus menjawab apa, hanya bergumam dalam hati,
“Itu kan hanya mimpi, tapi jika Allah yang menghendakinya, Riri harus siap apa pun yang terjadi.”

Terlalu dini memang membicarakan hal itu. Tapi saat ini Riri merasa sudah sangat dekat dengan Denys. Memang tidak ada manusia yang sempurna, tapi di mata Riri, Denys adalah manusia yang sangat sempurna. Dia bisa membimbing Riri dan anak-anaknya kelak di jalan Allah.

“Anak-anak ? Terlalu jauh kamu Ri”, hanya hati Riri yang tidak bisa diam memikirkan semua ini.

“Ri, maukah kamu menikah denganku ? menjadi ibu dari anak-anakku ? Kita tidak boleh terlalu lama berdekatan. Kita tidak tahu jika tiba-tiba kita diganggu syetan dan syetan akan merusak segalanya.” Antara sadar dan tidak Riri mendengar kata-kata Denys itu.

“Tapi Riri mau kuliah dulu, Kang” ada rasa ragu untuk mengiyakan ajakan Denys itu.

“Kamu masih bisa meneruskan kuliah setelah menikah. Menikah bukan sesuatu yang akan menghalangi cita-cita kamu. Menikah adalah ibadah. Dengan menikah kita akan lebih terjaga”, Denys mencoba meyakinkan Riri.

Riri tidak bisa mengambil keputusan, “Mungkin Akang lebih baik bicara dengan orang tua Riri saja. Riri percaya Akang bisa membimbing Riri dunia akhirat. Tapi semua keputusan ada di tangan orang tua Riri”.

Awalnya orang tua Riri kaget dan tidak setuju dengan niat anaknya. Bagi mereka sekolah adalah nomor satu. Dengan penuturan yang halus dan cukup mengagumkan dari Denys, akhirnya orang tua Riri pun memberikan do’a restunya.

Tak ada acara tunangan, karena itu bukan merupakan ajaran Islam. Langsung saja ditentukan hari pernikahan keduanya. Hanya pesta walimahan yang sederhana. Mereka tidak ingin berpesta pora menghabiskan uang puluhan juta untuk merayakan pernikahan mereka. Mereka ingin memulai hidup baru dengan sederhana.

Disela-sela persiapan pernikahan, tiba-tiba Kang Yayan, sahabat Denys, mendatangi rumah Riri. Dengan wajah berseri-seri Riri menyambut kedatangan Kang Yayan.
“Pasti ada pesan dari Kang Denys. Calon pengantin kan tidak boleh bertemu sebelum hari “H”," begitu yang ada dalam fikiran Riri.

Kang Yayan berusaha tersenyum, walau kelihatan seperti dipaksakan.
“Gimana persiapannya ?.” Kang Yayan membuka pembicaraan.
“Sedikit lagi Kang, tinggal dekorasi kamar pengantin. Yang masak banyak banget, ibu-ibu se-RW kayaknya tumplek semua Kang”, dengan berseri-seri Riri bercerita tentang persiapan pesta sederhananya.

“Ri, kuatkan hatimu ya”, Kang Yayan menarik nafas panjang dan berat sekali.
Matanya berkaca-kaca. Tak kuasa dia mengucapkan kalimat berikutnya.
“Denys meninggal satu jam yang lalu, tertabrak bis kota”.

Pandangan Riri langsung gelap, segelap hatinya. Riri langsung tak sadarkan diri mendengar kabar itu. Orang tua dan semua yang hadir di situ pun tak kuasa menahan tangisnya. Hingga berubahlah rumah yang sudah berhias itu dengan hujan tangisan kepiluan.

Lama Riri tak sadarkan diri. Ketika matanya terbuka, dia langsung memanggil Denys dengan lirih “Kang Denys, innalillaahi wa inna ilaihi roji’un”.
Riri berusaha bangkit dan mencoba tegar. Butir-butir air mata bening tetap tak tertahankan.
“Tapi aku harus tegar, aku tidak boleh meratapi kepergian Kang Denys. Allah telah memanggil orang yang dicintaiNya lebih cepat, tak kuasa diri ini menghalangi walau diri ini juga mencintainya. Pergilah Kang, Riri ikhlas.”

Sedikit demi sedikit para penggali itu memasukan tanah ke dalam kuburan Denys. Butir-butir tanah menutupi jasad Denys, semakin lama semakin banyak dan tak tampak lagi jasad itu. Tertimbun tanah, dalam, dingin, gelap, pekat. Tak layaklah kita meratapi jasadnya, karena dia pun tengah bersiap-siap mempertanggungjawabkan semua amal perbuatannya di dunia ini.

Butir-butir bening air mata Riri, jatuh membasahi gundukan tanah merah itu.
“Kang Denys, jika Allah berkehendak lain, tak ada daya dan upaya kita tuk menolaknya. Semoga Akang bahagia di alam sana. Tunggulah Riri akan segera menyusul ke sana. Kita akan berbahagia di sana selamanya. Kita akan berkumpul lagi di alam nan abadi. Bening air mata ini, tak ada nilainya sama sekali jika kita akan menikmati beningnya mata air di surga sana. Kita akan bersama-sama menikmati beningnya mata air di surga itu, bersama, selamanya.”


Bandung, Juni 2005

Nie Troozz

0 Comments:

Post a Comment

<< Home