Hanifan cakep Ifan cakep AA cakep Mamanie and her sons Farhan cute Farhan lucu Farhan imut

Monday, July 04, 2005

Sujud Itu dalam Hatiku

Sebuah kecupan hangat di keningku, membangunkan aku dari mimpi indahku.

“Selamat ulang tahun, Ma”.

Kubuka mataku, samar kulihat jam dinding menunjukkan tepat pukul 00.00. Kulihat wajah teduh suamiku tersenyum manis padaku. Hari ini, ya tepat di hari ulang tahunku, ucapan pertama dan kecupan hangat itu datang dari suami tercintaku. Suatu awal yang indah dalam menapaki tahun baruku. Tahun yang harus aku mulai dengan lebih berhati-hati dalam melangkahkan kakiku.

***

Dua belas tahun yang lalu, tepatnya bulan Maret 1993, awal perkenalan dengan suamiku.
“Kang, ada temenku yang pake jilbab lho, tapi di Bekasi. Katanya Akang lagi cari ceweq yang pake jilbab. Nih liat fotonya.”
Itu promosi pertama sahabatku yang kebetulan ditempatkan bekerja satu ruangan dengan seseorang, yang sekarang jadi suamiku, di Kota Kembang, kota kelahiranku. Sedangkan aku pertama kali ditempatkan bekerja di Bekasi, kota yang panas, gersang, sibuk, sesibuk kota tetangganya, Metropolitan.

“Hallo Nie, pa kabar,” sahabatku suatu hari menelepon. “Ada yang pengen kenalan nih.” Lalu gagang telepon pun diberikan pada seseorang. Hanya perkenalan biasa.

Esoknya, ada lagi telepon dari dia. Pagi sekali dia sudah telepon, hanya say hello. Siang hari juga dia telepon lagi. Setiap hari dering telepon dari dia tak pernah berhenti. Hanya say hello, atau hanya menanyakan sudah makan atau belum, sampai ngobrol panjang lebar tentang pekerjaan dan kehidupan pribadi. Dia sendiri sudah melihat wajahku dari fotoku yang ada di arsip kantor dan sejumlah cerita tentang diriku dari sahabatku. Sedangkan aku belum tahu bagaimana rupa dan penampilan dia sesungguhnya. Hanya sedikit cerita tentang kehidupan dia dari bosku yang dulu pernah juga menjadi bosnya.

Dua bulan sudah kami hanya kenal di udara. Hingga suatu hari dia ingin berkunjung ke rumahku. Bulan Mei itulah awal perjumpaanku dengannya. Pria berkulit putih, berkacamata, bertubuh atletis, berpakaian rapi, kini telah berada di hadapanku. Sedangkan aku selalu berpenampilan cuek, celana jeans belel dan t-shirt panjang. Mungkin dia juga tidak membayangkan aku yang berpenampilan seperti itu.
Hmm…. Hanya suaranya saja yang telah akrab di telingaku, sedangkan di hadapannya aku masih terasa asing.

Pada kunjungan pertama ini dia langsung mengajak jalan. Ups… meskipun merasa sudah akrab, tapi untuk jalan rasanya terlalu cepat. Aku akhirnya berpura-pura sudah punya acara lain dengan ibuku. Akhirnya hanya kunjungan singkat, dan berlalulah dia dari tempat tinggalku.

Ahh…. Penampilan yang terlalu rapi. Aku suka yang rapi tapi agak cuek. Suka humor dan tidak terlalu kaku. Sungguh pertemuan pertama yang kurang mengesankan.

Dering telepon tak pernah absen setiap hari. Tukang pos pun tak pernah bosan mengirimkan surat darinya untukku. Berlembar-lembar cerita dan nasehat selalu ia tulis untukku.

Lama kelamaan luruhlah hatiku. Nasehat-nasehatnya dalam setiap suratnya, dapat membuat hidupku berubah. Merubah paradigma hidupku, yang selama ini selalu memikirkan “emansipasi kaum wanita” yang sebenarnya sekarang sudah melenceng dari yang seharusnya. Dia dapat merubah fikiran tentang bagaimana seorang wanita dalam mencapai surganya. Kedekatanku makin berarti. Makin banyak hal yang kudapat dari dia.

Hingga suatu hari, dia mengajakku untuk menikah. Usia dia sudah cukup matang untuk menikah, dua puluh tujuh tahun. Sedangkan aku waktu itu masih berumur dua puluh dua tahun. Rasanya masih terlalu muda untuk membangun sebuah mahligai rumah tangga. Tapi dengan sebuah niat yang suci, akhirnya kami melangsungkan pernikahan pada tahun 1994.

***

Sebelas tahun sudah aku hidup bersamanya. Sebelas tahun sudah kunikmati manis dan pahitnya kehidupan ini. Kini dia di sampingku. Dia yang selalu hadir tatkala hatiku gundah. Dia yang selalu menghibur tatkala hatiku sedih. Dia pula yang sabar merawatku tatkala aku sakit. Dia adalah pemimpinku, pemimpin keluargaku. Dia nakhoda yang akan membawaku berlayar mengarungi lautan kehidupanku.

Tanggung jawab nakhoda itu sungguh berat, dia harus meluruskan jalannya kapal supaya tidak oleng. Dia harus tetap bisa menegakkan kapal walaupun hujan dan badai terus menghadang. Dia harus memimpin anak buah kapal agar sesuai aturan yang telah ditetapkan. Dia harus membawa kapal itu ke suatu tujuan. Tujuan akhir kehidupan ini yang lebih indah, lebih kekal, lebih nikmat dari dunia dan seisinya. Surga.

Karena beratnya tanggung jawab itu hingga Rasulullah pernah bersabda yang isinya kurang lebih begini, jika diperbolehkan seseorang untuk menyembah orang lain, maka akan aku perintahkan isteri untuk sujud pada suaminya.

Sungguh, teramat berat tanggung jawab seorang suami. Dia bertanggung jawab atas kelangsungan hidup keluarganya. Dia bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anaknya. Dia takkan pernah bosan mengingatkan anggota keluarganya untuk selalu meluruskan jalannya. Agar tujuan akhir itu akan tercapai bersama-sama.

Jadi tidak berlebihan jika Rosul ingin menyuruh istri untuk sujud pada suaminya. Dan jika Allah tidak memperkenankan, maka sujud itu ada dalam hatiku saja.


Juni 2005

Nie Troozz

1 Comments:

At 3:43 PM, Blogger Gawtama said...

ck ck ck... romantis banget...

 

Post a Comment

<< Home