Hanifan cakep Ifan cakep AA cakep Mamanie and her sons Farhan cute Farhan lucu Farhan imut

Tuesday, August 16, 2005

Dendam Membawa Luka (bagian 2)

(cerita sebelumnya baca aja dech di bagian 1 yaa.....)


“Denger ya Nie, aku mau cerita tentang aku, tentang kepedihanku, supaya kamu bisa melihat bahwa penderitaanmu tidak ada artinya sama sekali dibandingkan dengan penderitaanku. Eh iya, koq jadi serius begini. Kamu mau minum apa ? Aku sampe lupa nawarin kamu,” Mbak Asti langsung berdiri untuk mengambilkan minum untukku.


“Duh… gak usah repot-repot Mbak, kalau haus kan aku nanti bisa ngambil sendiri. Cerita aja dulu deh, udah gak sabar nih….” sahutku sambil memperbaiki posisi dudukku.


Aku lihat ada guratan kesedihan yang mendalam pada wajah Mbak Asti. Seakan memendam kegundahan. Lalu Mbak Asti tersenyum dan mulailah bercerita.


“Keluargaku dulu adalah keluarga yang bahagia. Aku mempunyai ayah dan ibu serta sepuluh orang saudara kandung. Sebuah keluarga besar tentunya. Ayahku bekerja di sebuah BUMN di bagian pelatihan, yang mengharuskan beliau tugas ke luar negeri setiap tahunnya. Malah waktunya lebih banyak di sana daripada di rumah. Mungkin hanya beberapa bulan saja beliau ada di rumah.”


“Seluruh tanggung jawab di rumah diserahkan pada ibuku. Ibuku walau hanya ibu rumah tangga biasa, tetapi mempunyai bisnis yang lumayan, yaitu jual beli berlian. Dengan demikian dari segi materi, kami hidup sangat berkecukupan.”


“Kehidupan kami yang sangat “borjuis” malah menjauhkan komunikasi di antara kami. Kehidupan anak-anak mulai liar, karena kurangnya perhatian. Ayah yang selalu pergi ke luar negeri dan ibu yang selalu sibuk dengan bisnisnya serta ditambah dengan kesibukan lain di sebuah organisasi, sehingga jarang sekali ada di rumah untuk memperhatikan anak-anaknya.”


“Anak-anak hidup dalam dunia sendiri, berpesta-pesta dan menghambur-hamburkan uang. Kecuali aku yang lebih senang berdiam diri di rumah, berteman dan berkhayal sendiri. Aku lebih dekat dengan Mbak Marti, pembantuku. Padanyalah aku bisa bermanja-manja dan meminta tolong. Itulah yang membedakan aku dengan saudara-saudaraku yang lain, sehingga mereka selalu iri padaku jika ayahku menjadi lebih sayang padaku.”


“Deuh…. Jadi anak kesayangan ayah rupanya,” ledekku.


“Bukan sombong Nie, memang aku lebih disayang ayah karena aku tidak terbawa arus kehidupan mereka. Hanya dua orang yang masih terlihat baik, aku dan satu lagi kakakku. Tapi dia tidak pernah ada di rumah. Dia tidak betah dengan suasana rumah yang sangat kacau. Berkomunikasi saja selalu dengan emosi, malah tak jarang menggunakan otot dan benda tajam bila terjadi ketersinggungan. Kakakku yang satu itu lebih memilih gunung sebagai dunianya. Maka tinggallah aku satu-satunya yang dianggap baik oleh ayahku. Dan itu menyebabkan keirian ibu dan saudara-saudaraku makin menjadi-jadi. Tak jarang aku dipukuli ibu dan kakak-kakakku tanpa sebab yang jelas.”


“Suatu kali sepulang ayah dari luar negeri, beliau melihat ketidakberesan yang terjadi di rumah kami. Entah tahu dari mana beliau, padahal aku tidak pernah menceritakan keadaan rumah pada ayah, karena jika ketahuan aku cerita, mungkin aku dipukuli lagi oleh ibuku.”


“Ayah sangat kecewa dengan keadaan ini. Akhirnya ayah akan memboyong kami sekeluarga ke luar negeri. Kebetulan tugas ayah kali ini adalah Negara Kuwait, negara yang kekentalan agamanya sudah diakui dunia. Ayah berharap, jika kami pindah ke sana kami dapat memperbaiki diri di sana.”



(akankah keluarga ini pindah ke Kuwait ?...... tunggu dech bagian 3nya)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home