Hanifan cakep Ifan cakep AA cakep Mamanie and her sons Farhan cute Farhan lucu Farhan imut

Thursday, August 18, 2005

Dendam Membawa Luka (bagian 4)

(..............Niko namanya. Dia begitu baik. Kepada dialah aku selalu mencurahkan isi hatiku.”




“Hari-hari baruku, kuisi bersama Niko. Dia selalu setia menjemputku sepulang sekolah. Kemana pun aku pergi, dia selalu ada di sisiku. Tetapi aku hanya bisa “back street”, karena ayahku yang sangat disiplin itu tentu saja melarangku untuk mempunyai teman laki-laki.”


“Suatu hari temanku mengadakan pesta ulang tahun di suatu villa. Aku minta ijin ayah untuk hadir di pesta ulang tahun itu dan bermalam di sana. Ayah tentu saja berkeberatan. Dengan ditemani teman perempuan yang mengundangku, aku bisa meyakinkan ayah kalau pesta itu hanya pesta ulang tahun biasa dan yang diundang pun teman-teman dari lingkungan yang baik.”


“Akhirnya aku diijinkan ayah pergi ke pesta itu. Aku pun pergi ke villa temanku kemudian Niko dan Aries, temannya, menyusulku pada malam harinya. Kami menikmati pesta itu, namun Niko tidak terlihat ceria dan lebih banyak diam. Niko seperti mencium gelagat yang kurang baik di pesta itu, sehingga dia melarangku untuk bermalam di villa itu. Aku yang sangat mempercayai Niko, menurut saja mendengar perkataannya. Seusai pesta, aku pun melaju pulang bersama Niko.”



“Tetapi sesampainya di rumah, waktu telah menunjukkan pukul satu dini hari. Keadaan rumah sudah gelap dan aku takut sekali melihat wajah ayahku jika tahu aku pulang malam diantar Niko. Akhirnya Niko mengajakku menginap di hotel kepunyaan Aries. Dia memesan dua kamar, satu untukku dan satu lagi untuk dia dan Aries.”



“Mbak gak takut kalau Niko……hm….. misalnya berbuat yang …..,” sahutku menyela pembicaraannya, tapi ragu untuk meneruskan perkataanku.



“Aku waktu itu sangat mempercayai dia. Dia yang memberikan kebahagiaan padaku. Sehingga tidak ada setitik pun kecurigaanku padanya. Kami masuk ke kamar masing-masing. Tapi tidak berapa lama ada yang mengetuk pintu kamarku. Kuintip di “kaca pengintip” di pintu, Nikolah yang mengetuk pintu. Tanpa kecurigaan, aku mempersilahkan dia masuk. Di tangannya ada segelas minuman berwarna merah. Dia bilang dia tidak bisa tidur. Lalu kami pun berbincang-bincang beberapa waktu. Gelas minuman itu disodorkan padaku. Sambil mengobrol kuminum air berwarna merah itu, seperti Fanta rasanya. Lama kelamaan kepalaku mulai pening. Kurebahkan diriku di tempat tidur. Antara sadar dan tidak, tiba-tiba seperti ada yang menindihku. Lalu aku tak ingat apa-apa lagi.”


“Hah…… jadi Mbak sudah ….. ????” aku kaget sekali mendengar ceritanya.


“Aku waktu itu baru kelas satu SMA Nie, gak tau apa-apa soal begituan. Waktu aku bangun pun aku gak tau, karena aku masih berpakaian lengkap. Saat bangun itu Niko sudah tak ada di kamarku lagi. Hanya kurasakan nyeri pada… maaf…. kelaminku. Lalu kulihat ada bercak darah pada seprei tempat tidurku. Aku tidak curiga sedikit pun pada Niko, karena saat itu aku sedang datang bulan. Jadi kupikir itu adalah darah datang bulanku yang tembus di atas seprei.”


“Ketika aku sedang mencuci pakaian dalamku, Niko datang dengan wajah bersalah. Niko meminta maaf atas kejadian semalam. Dia mengakui kekhilafannya, tapi dia mengatakan kalau hal seperti itu adalah hal biasa dalam pergaulannya.”


“Wah, seperti mendengar petir di siang bolong. Tubuhku langsung lemas, lunglai mendengar pengakuannya. Padahal jika dia tidak bicara, mungkin aku tidak akan tau hal yang sebenarnya. Aku jadi benci Niko. Benci sekali.”


“Setiap Niko datang menjemput, aku selalu menghindar. Aku hanya titip pesan pada sahabatku, Anita, kalau aku tidak masuk sekolah. Ternyata kesempatan itu diambil oleh Anita, dia menjadi leluasa bepergian dengan Niko. Dan setelah bepergian itu selalu diceritakan pada teman-temannya. Otomatis berita itu sampai di telingaku. Sahabatku sendiri tega melakukan itu. Tadinya aku menghindar Niko hanya untuk sesaat.”


“Aku marah, sangat marah. Niko yang sangat aku percayai ternyata buaya, busuk. Aku marah, aku sedih, aku tak tau lagi harus bagaimana. Pikiranku sudah buntu. Aku tak berani menceritakan hal ini pada ayahku, karena pasti dia akan marah besar.”


“Hari itu kuputuskan untuk bolos sekolah. Aku berjalan tak tentu arah. Hingga sampailah di rel kereta api. Kususuri rel itu. Aku berjalan di sepanjang rel itu, sambil menunggu datangnya sang kereta. Ya…. Aku ingin mengakhiri kepahitan hidupku di atas rel ini. Aku ingin bunuh diri.”




(Terlaksanakah niat bunuh diri Mbak Asti ?.... hm.... mungkin di bagian 5 akan terungkap yaa....)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home