Hanifan cakep Ifan cakep AA cakep Mamanie and her sons Farhan cute Farhan lucu Farhan imut

Monday, August 29, 2005

Rahwana Ketemuan Ama Bajuri

Mau liat foto Rahwana ketemuan ama Bajuri ???

sok atuh klik di sini

Rahwana

Thursday, August 25, 2005

Obsesi Ooh..... Obsesi

"Hei.... senyum-senyum sendiri aja....." temanku mencolek bahuku dari belakang.

Aku tidak menoleh, tetap saja jemariku menari-nari di atas keyboard, sambil menahan-nahan senyumku agar tidak meledak menjadi sebuah tawa. Beginilah orang yang sudah kena demam chatting. Senyum-senyum sendiri, bergumam sendiri, kadang marah pun terlihat dengan menekan keyboard dengan kasar. Panggilan orang lain kadang tidak terdengar. Asyik sekali pikiranku dalam dunia maya ini.

"Hallo Honey..... how are U today..." selalu, setiap pagi saat aku baru "sign in" ke YM, datang sapaan hangat dari seseorang, yang sekarang menjadi begitu dekat di hatiku. Hatiku selalu berbunga-bunga mendapat sapaan darinya. Hingga senyumku tak pernah lepas dari wajahku.

Andy..... dialah orang yang selalu rajin menyapaku setiap pagi. Hm.... seorang pria bule yang sangat ramah. Perhatian sekali dia padaku. Wajahnya sih mirip-mirip Tom Cruise , jadi aku pun senang sekali mendapat perhatian dari dia.

Tiba-tiba Andy mendapat tugas khusus ke Indonesia. Semakin dekatlah hubungan kami. Ngobrol bersama dia membuat hari-hariku terasa lebih indah. Kata-katanya yang penuh cinta, membuatku terlena dan ingin terbang bersamanya. Kami rajut mimpi itu menjadi sebuah asa, menciptakan keluarga yang bahagia.

Akhirnya Andy datang melamarku. Orang tua dan keluargaku menyambut dengan tangan terbuka. Wuuuiiiihhhh..... laksana terbang ke langit ke tujuh. Hatiku makin berbunga-bunga.

Sebuah pesta megah digelar. Semua saudara dan handai taulan menyempatkan diri hadir, karena ini adalah peristiwa langka, menikah dengan pria bule. Senyumku dan senyum Andy merekah bagai bunga-bunga yang menghiasi pelaminan kami.

Mimpi masa kecilku akhirnya menjadi nyata. Menikah dengan pria bule (untuk memperbaiki keturunan he..he..), memiliki anak-anak indo yang lucu-lucu, hidup di negara yang "bebas merdeka" dan menikmati lembutnya salju di musim dingin.

Tapi karena tugas Andy yang masih harus diselesaikan di Indonesia, untuk sementara kami menetap dulu di Indonesia. Setelah melahirkan anak kami yang pertama, aku pun diboyong ke negerinya. Bayi bule yang sangat lucu, hidung dan kulit putihnya mirip ayahnya. Sedang mata dan bibirnya mirip denganku. Suatu perpaduan ciptaan Tuhan yang amat indah.

Rumah mungil pun telah dipersiapkan menyambut kedatanganku. Rumah yang sangat asri dengan penuh bunga berwarna-warni. Halaman yang cukup luas, bisa untuk pesta "barbeque". Sesampainya di rumah langsung kulihat sekeliling rumah. Sungguh karunia Allah yang tak henti-hentinya aku syukuri.

Kubuka jendela lebar-lebar menghirup udara yang sangat bersih. Tidak seperti di Indonesia yang sudah penuh polusi. Satu persatu jendela kubuka. Dan jendela terakhir yang aku buka ternyata macet. Aku paksa-paksa untuk mendorongnya hingga kepalaku terbentur kaca.

Duh.... sakit sekali.

Tiba-tiba terdengar suara," Bu , udah sampai terminal Bu....".

Oalaaahhh..... ternyata aku tertidur di angkot dan kepalaku terantuk kaca jendela angkot.

Dengan menahan malu, aku bayar ongkos dan ambil langkah seribu.

Ternyata......... aku tadi di angkot bermimpi menikah dengan pria bule.

Ooh.... aku hanya terobsesi karena sering chatting dengan istri pria bule.



Nie Troozz

Wednesday, August 24, 2005

Tiga Hati yang Terluka

Dua pekan ini diriku sepertinya “tegangan tinggi”. Sifatku yang buruk, yang selalu memendam sakit hati berlama-lama, rasanya menguras seluruh energiku. Belum lagi perayaan 17 Agustus-an yang “memaksa” aku untuk turut aktif memeriahkannya, baik di kantor maupun di lingkungan rumah baruku. Dan tiba-tiba kemarin mati lampu se-Jawa Bali yang tentu saja membuat beban kerja perusahaanku bertambah berat.


Ingin rasanya kutambah waktuku lebih dari 24 jam sehari, supaya bisa lebih leluasa mengatur waktuku. Hm…… manusia memang selalu merasa kurang.


Hingga subuh tadi, alarm berbunyi tepat pukul empat pagi. Rasanya tubuh ini masih ingin tenggelam dalam kehangatan selimut tebalku. Sekonyong-konyong rasa malas menderaku. Malas kusibak selimut yang sepanjang malam memelukku.


Tapi tugas telah menantiku. Aku harus tiba di kantor pukul setengah tujuh. Akhirnya setelah menikmati hangatnya selimutku beberapa menit, kupaksakan diriku tuk bangkit. Kupaksa suamiku pula untuk bangun segera.


Aktifitas rutin pun dimulai. Nyalakan mesin cuci, bangunkan anak-anak terus mandi. Selesai mandi, anak-anak masih tertidur pulas. Dengan berteriak-teriak, aku bangunkan lagi mereka. Langsung kupaksa anak-anakku mandi. “Tegangan”ku mulai meninggi. Si sulung tidak terlalu sulit untuk mandi dan berpakaian. Tapi tiba-tiba dia berteriak, “Mama, baju seragam putihnya gak ada…!!!” Kuacak-acak lemari tidak ada. Padahal semua seragam anak-anak sudah diplot cukup untuk satu minggu. Ah… baru aku ingat. Senin lalu dia menumpahkan susu coklat hingga harus ganti dengan kemeja baru. Berarti kemeja putih itu dua-duanya ada di mesin cuci !!!! Ya Ampuuunnnn…..


“Makanya kalau minum susu hati-hati, jadi bajunya gak kotor semua” bentakan kecil yang keluar dari mulutku membuat satu hati terluka. Hati si sulung.


Kutengok ke kamar anak-anak, kulihat si kecil masih terlelap dalam mimpinya.

“Aduuhhh…. Gimana sih ade ini…”. Tanganku langsung sigap membuka kancing piyamanya walaupun matanya masih terpejam. “Nanti mama kesiangan nih…”. Si kecil pun kutuntun masuk kamar mandi.


Kutenangkan hatiku, hm… kemeja si sulung harus ada. Setelah kering oleh pengering, kemeja itu bisa disetrika. Namun tiba-tiba lampu mati. Duh…. Bagaimana ini. Aku angkat kemeja putih itu. Aku bilas secara manual.


Karena mati lampu, si kecil pun lari-lari keluar dari kamar mandi dengan tubuh penuh sabun. “Ya ampuuuunnn…. Itu lantai jadi becek kemana-mana.”


“Abis kamar mandinya gelap maa….” sahut si kecil.


“Pa, itu ade urusin tuh…” teriakku pada bapaknya anak-anak. Sementara pikiranku masih soal kemeja.

“Udah, bawa kemeja itu ke rumah nenek, keringin di sana” suaraku yang mulai meninggi membuat anakku yang tengah menikmati sarapannya, pergi dengan segera.


Menit demi menit terasa semakin cepat. Aku sudah mulai stress karena belum bisa pergi dengan segera. Aku lihat suamiku malah sibuk di dapur. Dia memang hobby memasak. Tapi hobbynya kali ini tidak membuatku senang.


“Pa, lihat udah jam berapa ? Bapa mau ngapain ? Kenapa pegang-pegang wajan segala, cepetan donk………!!! Mama kan harus nyampe di kantor pagi sekali” suaraku sudah tak terkontrol lagi. Mungkin saat itu satu hati lagi terluka. Hati suamiku.


“De, cepetan makannya !!! Udah beresin buku belum ? Udah pake kaos kaki belum ?”.


“Kaos kakinya gak ada Ma…” si kecil tanpa melihat roman mukaku yang menegang menjawab dengan santainya.


“Kamu tuh kalo naro kaos kaki jangan sembarangan, masa gak ada satu pun di laci lemari. Mama baru beliin minggu kemarin. Udah gak usah pake kaos kaki” suaraku makin meledak-ledak. Tak kusadari si kecil pun punya hati, yang mungkin telah terluka. Tiga hati telah terluka.


Masa bodohlah…. Yang penting aku harus segera ke kantor. Tugas khusus telah menantiku. Maka pergilah aku dengan waktu terlambat seperempat jam dari yang telah direncanakan.


“Sepagi ini jalanan macet ?” aku terus bersungut-sungut walaupun suamiku sudah berusaha mempercepat laju kendaraannya. Mulutku komat kamit berdo’a mohon dilancarkan dalam perjalananku.


Setengah meloncat aku turun dari kendaraan. Ternyata persiapan acara belum ada sama sekali. Kutelepon sana sini.

“Duuhhh…. Bagaimana ini. Nanti bos ku keburu datang”.


Kuundang semua staf bos, aku suruh semua masuk ruangan dan diam, karena hari ini kami akan membuat “Surprise Birthday Party” buat bosku.


Acara berlangsung meriah, senyum merekah dimana-mana. Senyum bosku tentu yang paling indah. Tapi jauh di lubuk hatiku, ada penyesalan yang membuncah, aku menangis. Untuk senyum itu aku harus mengorbankan tiga buah hati yang terluka. Hati orang-orang tercintaku.



Nie Troozz

Thursday, August 18, 2005

Dendam Membawa Luka (bagian 4)

(..............Niko namanya. Dia begitu baik. Kepada dialah aku selalu mencurahkan isi hatiku.”




“Hari-hari baruku, kuisi bersama Niko. Dia selalu setia menjemputku sepulang sekolah. Kemana pun aku pergi, dia selalu ada di sisiku. Tetapi aku hanya bisa “back street”, karena ayahku yang sangat disiplin itu tentu saja melarangku untuk mempunyai teman laki-laki.”


“Suatu hari temanku mengadakan pesta ulang tahun di suatu villa. Aku minta ijin ayah untuk hadir di pesta ulang tahun itu dan bermalam di sana. Ayah tentu saja berkeberatan. Dengan ditemani teman perempuan yang mengundangku, aku bisa meyakinkan ayah kalau pesta itu hanya pesta ulang tahun biasa dan yang diundang pun teman-teman dari lingkungan yang baik.”


“Akhirnya aku diijinkan ayah pergi ke pesta itu. Aku pun pergi ke villa temanku kemudian Niko dan Aries, temannya, menyusulku pada malam harinya. Kami menikmati pesta itu, namun Niko tidak terlihat ceria dan lebih banyak diam. Niko seperti mencium gelagat yang kurang baik di pesta itu, sehingga dia melarangku untuk bermalam di villa itu. Aku yang sangat mempercayai Niko, menurut saja mendengar perkataannya. Seusai pesta, aku pun melaju pulang bersama Niko.”



“Tetapi sesampainya di rumah, waktu telah menunjukkan pukul satu dini hari. Keadaan rumah sudah gelap dan aku takut sekali melihat wajah ayahku jika tahu aku pulang malam diantar Niko. Akhirnya Niko mengajakku menginap di hotel kepunyaan Aries. Dia memesan dua kamar, satu untukku dan satu lagi untuk dia dan Aries.”



“Mbak gak takut kalau Niko……hm….. misalnya berbuat yang …..,” sahutku menyela pembicaraannya, tapi ragu untuk meneruskan perkataanku.



“Aku waktu itu sangat mempercayai dia. Dia yang memberikan kebahagiaan padaku. Sehingga tidak ada setitik pun kecurigaanku padanya. Kami masuk ke kamar masing-masing. Tapi tidak berapa lama ada yang mengetuk pintu kamarku. Kuintip di “kaca pengintip” di pintu, Nikolah yang mengetuk pintu. Tanpa kecurigaan, aku mempersilahkan dia masuk. Di tangannya ada segelas minuman berwarna merah. Dia bilang dia tidak bisa tidur. Lalu kami pun berbincang-bincang beberapa waktu. Gelas minuman itu disodorkan padaku. Sambil mengobrol kuminum air berwarna merah itu, seperti Fanta rasanya. Lama kelamaan kepalaku mulai pening. Kurebahkan diriku di tempat tidur. Antara sadar dan tidak, tiba-tiba seperti ada yang menindihku. Lalu aku tak ingat apa-apa lagi.”


“Hah…… jadi Mbak sudah ….. ????” aku kaget sekali mendengar ceritanya.


“Aku waktu itu baru kelas satu SMA Nie, gak tau apa-apa soal begituan. Waktu aku bangun pun aku gak tau, karena aku masih berpakaian lengkap. Saat bangun itu Niko sudah tak ada di kamarku lagi. Hanya kurasakan nyeri pada… maaf…. kelaminku. Lalu kulihat ada bercak darah pada seprei tempat tidurku. Aku tidak curiga sedikit pun pada Niko, karena saat itu aku sedang datang bulan. Jadi kupikir itu adalah darah datang bulanku yang tembus di atas seprei.”


“Ketika aku sedang mencuci pakaian dalamku, Niko datang dengan wajah bersalah. Niko meminta maaf atas kejadian semalam. Dia mengakui kekhilafannya, tapi dia mengatakan kalau hal seperti itu adalah hal biasa dalam pergaulannya.”


“Wah, seperti mendengar petir di siang bolong. Tubuhku langsung lemas, lunglai mendengar pengakuannya. Padahal jika dia tidak bicara, mungkin aku tidak akan tau hal yang sebenarnya. Aku jadi benci Niko. Benci sekali.”


“Setiap Niko datang menjemput, aku selalu menghindar. Aku hanya titip pesan pada sahabatku, Anita, kalau aku tidak masuk sekolah. Ternyata kesempatan itu diambil oleh Anita, dia menjadi leluasa bepergian dengan Niko. Dan setelah bepergian itu selalu diceritakan pada teman-temannya. Otomatis berita itu sampai di telingaku. Sahabatku sendiri tega melakukan itu. Tadinya aku menghindar Niko hanya untuk sesaat.”


“Aku marah, sangat marah. Niko yang sangat aku percayai ternyata buaya, busuk. Aku marah, aku sedih, aku tak tau lagi harus bagaimana. Pikiranku sudah buntu. Aku tak berani menceritakan hal ini pada ayahku, karena pasti dia akan marah besar.”


“Hari itu kuputuskan untuk bolos sekolah. Aku berjalan tak tentu arah. Hingga sampailah di rel kereta api. Kususuri rel itu. Aku berjalan di sepanjang rel itu, sambil menunggu datangnya sang kereta. Ya…. Aku ingin mengakhiri kepahitan hidupku di atas rel ini. Aku ingin bunuh diri.”




(Terlaksanakah niat bunuh diri Mbak Asti ?.... hm.... mungkin di bagian 5 akan terungkap yaa....)

Wednesday, August 17, 2005

Dendam Membawa Luka (bagian 3)

(makasih yaa masih setia menunggu lanjutannya.....)



“Wah, asyik dong….. bisa tinggal di luar negeri,” timpalku yang makin asyik mendengar ceritanya.


“Aku udah seneng sih, tapi sebelum rencana ini dilaksanakan, ayah memanggil seorang guru mengaji yang akan memberi bekal pada kami tentang pengetahuan agama. Terus terang pendidikan agama kami sangat minim karena kedua orang tuaku adalah aliran kepercayaan. Sedangkan kami disekolahkan di sekolah Nasrani. Waktu itu aku baru menduduki bangku SMP. Kami tidak biasa melakukan sholat dan amalan-amalan wajib lainnya. Kami hanya diajarkan “Eling” pada Yang Maha Esa.”


“Tapi rupanya ayah telah salah mengambil seorang guru. Guru itu berasal dari suatu aliran yang pada saat itu bertentangan dengan pemerintah. Ajarannya agak aneh, aku pun tak tau aliran apa. Hingga suatu hari, guru ngaji itu tertembak oleh penembak misterius di dekat sebuah mesjid besar di kotaku.”


“Dengan tertembaknya guru ngaji itu, ayah dan ibuku yang tidak beragama Islam menjadi gentar. Di kepala mereka dibayangi oleh suatu aliran yang diajarkan oleh guru itu yang malah membingungkan. Beliau berfikir kalau orang-orang Islam itu selalu saling bunuh membunuh. Sehingga berfikiran juga kalau di Negara Kuwait yang Islamnya kental itu akan begitu keadaannya. Akhirnya ibuku tidak mau diajak ke Kuwait.”


“Ayahku bingung harus bagaimana membenahi keluarga ini. Akhirnya ayahkulah yang mengalah. Demi keutuhan keluarganya, beliau mengambil pensiun dini. Beliau ingin membenahi keluarga ini.”


“ Tapi dengan keberadaan ayah di rumah, malah makin mengacaukan suasana. Ayah sangat disiplin. Ibuku yang senang bepergian menjadi merasa terkekang dan menjadi marah-marah. Kakak-kakakku pun menjadi uring-uringan karena tidak boleh pulang terlalu malam. Setiap hari hanya pertengkaran-pertengkaran yang terjadi di rumahku.”


“Bisnis ibu pun mulai kacau setelah ada temannya yang menipu dia. Ibu telah membayar sejumlah uang, tetapi berlian yang dipesan itu tak kunjung datang. Sehingga ibu malah terlilit hutang yang sangat besar pada teman-temannya yang telah memesan.”


“Akhirnya rumah besar yang kami tempati pun terpaksa dijual dan kami membeli rumah yang lebih kecil dari rumah semula. Pertengkaran demi pertengkaran hebat pun tak dapat dielakkan lagi. Pada puncaknya, ibu akhirnya memilih bercerai karena ternyata selama ini ibu menyimpan rasa cemburu setelah berulang kali menemukan foto wanita cantik sepulang ayah dari luar negeri dulu. Itulah awal penderitaanku Nie,” suara Mbak Asti menjadi parau.


“Itu baru awal Mbak ? Jadi masih banyak duka yang lain yang Mbak simpan rapat-rapat selama ini ? Hm….. kayak sebuah sinetron aja nih….,” aku berusaha membuat suasana tidak menjadi tegang.


Mbak Asti melanjutkan ceritanya.


“Rumah dan semua harta diambil oleh ibuku. Sedang ayah hanya mendapat sebuah rumah kecil di sebuah perumahan. Bersama akulah ayah menempati rumah kecil itu, sedangkan saudara-saudaraku memilih tinggal dengan ibu. Mereka tidak bisa meninggalkan gaya hidup mereka yang terlanjur “borjuis”.”


“Aku memang pendiam Nie, tapi sebenarnya aku menyimpan luka yang sangat dalam dengan keadaan keluarga dan perceraian ini. Tapi lukaku selalu kupendam sendiri. Hingga aku masuk SMA dan bertemu dengan seseorang yang sangat memperhatikan aku. Niko namanya. Dia begitu baik. Kepada dialah aku selalu mencurahkan isi hatiku.”




(akankah Mbak Asti menemukan kebahagiaan dengan Niko ?..... wait and see..)

Tuesday, August 16, 2005

Dendam Membawa Luka (bagian 2)

(cerita sebelumnya baca aja dech di bagian 1 yaa.....)


“Denger ya Nie, aku mau cerita tentang aku, tentang kepedihanku, supaya kamu bisa melihat bahwa penderitaanmu tidak ada artinya sama sekali dibandingkan dengan penderitaanku. Eh iya, koq jadi serius begini. Kamu mau minum apa ? Aku sampe lupa nawarin kamu,” Mbak Asti langsung berdiri untuk mengambilkan minum untukku.


“Duh… gak usah repot-repot Mbak, kalau haus kan aku nanti bisa ngambil sendiri. Cerita aja dulu deh, udah gak sabar nih….” sahutku sambil memperbaiki posisi dudukku.


Aku lihat ada guratan kesedihan yang mendalam pada wajah Mbak Asti. Seakan memendam kegundahan. Lalu Mbak Asti tersenyum dan mulailah bercerita.


“Keluargaku dulu adalah keluarga yang bahagia. Aku mempunyai ayah dan ibu serta sepuluh orang saudara kandung. Sebuah keluarga besar tentunya. Ayahku bekerja di sebuah BUMN di bagian pelatihan, yang mengharuskan beliau tugas ke luar negeri setiap tahunnya. Malah waktunya lebih banyak di sana daripada di rumah. Mungkin hanya beberapa bulan saja beliau ada di rumah.”


“Seluruh tanggung jawab di rumah diserahkan pada ibuku. Ibuku walau hanya ibu rumah tangga biasa, tetapi mempunyai bisnis yang lumayan, yaitu jual beli berlian. Dengan demikian dari segi materi, kami hidup sangat berkecukupan.”


“Kehidupan kami yang sangat “borjuis” malah menjauhkan komunikasi di antara kami. Kehidupan anak-anak mulai liar, karena kurangnya perhatian. Ayah yang selalu pergi ke luar negeri dan ibu yang selalu sibuk dengan bisnisnya serta ditambah dengan kesibukan lain di sebuah organisasi, sehingga jarang sekali ada di rumah untuk memperhatikan anak-anaknya.”


“Anak-anak hidup dalam dunia sendiri, berpesta-pesta dan menghambur-hamburkan uang. Kecuali aku yang lebih senang berdiam diri di rumah, berteman dan berkhayal sendiri. Aku lebih dekat dengan Mbak Marti, pembantuku. Padanyalah aku bisa bermanja-manja dan meminta tolong. Itulah yang membedakan aku dengan saudara-saudaraku yang lain, sehingga mereka selalu iri padaku jika ayahku menjadi lebih sayang padaku.”


“Deuh…. Jadi anak kesayangan ayah rupanya,” ledekku.


“Bukan sombong Nie, memang aku lebih disayang ayah karena aku tidak terbawa arus kehidupan mereka. Hanya dua orang yang masih terlihat baik, aku dan satu lagi kakakku. Tapi dia tidak pernah ada di rumah. Dia tidak betah dengan suasana rumah yang sangat kacau. Berkomunikasi saja selalu dengan emosi, malah tak jarang menggunakan otot dan benda tajam bila terjadi ketersinggungan. Kakakku yang satu itu lebih memilih gunung sebagai dunianya. Maka tinggallah aku satu-satunya yang dianggap baik oleh ayahku. Dan itu menyebabkan keirian ibu dan saudara-saudaraku makin menjadi-jadi. Tak jarang aku dipukuli ibu dan kakak-kakakku tanpa sebab yang jelas.”


“Suatu kali sepulang ayah dari luar negeri, beliau melihat ketidakberesan yang terjadi di rumah kami. Entah tahu dari mana beliau, padahal aku tidak pernah menceritakan keadaan rumah pada ayah, karena jika ketahuan aku cerita, mungkin aku dipukuli lagi oleh ibuku.”


“Ayah sangat kecewa dengan keadaan ini. Akhirnya ayah akan memboyong kami sekeluarga ke luar negeri. Kebetulan tugas ayah kali ini adalah Negara Kuwait, negara yang kekentalan agamanya sudah diakui dunia. Ayah berharap, jika kami pindah ke sana kami dapat memperbaiki diri di sana.”



(akankah keluarga ini pindah ke Kuwait ?...... tunggu dech bagian 3nya)

Dendam Membawa Luka (bagian I)

Pekarangan rumah yang nampak asri, sangat memikat hati saat memasukinya. Suasana pekarangan itu biasanya menunjukkan pula suasana hati pemiliknya. Dipenuhi bunga-bunga nan indah berwarna-warni, menandakan suatu keceriaan yang tak pernah berhenti.

Pintu rumah pun tak berapa lama langsung terbuka ketika kuketuk. Senyum ramah Mbak yang satu ini, selalu terpancar dari wajahnya.

Mbak Asti sang pemilik rumah, selalu terlihat tegar di tengah duka kehidupannya. Dia yang selalu tersenyum dan mengulurkan kedua tangannya jika ada orang yang datang membutuhkan pertolongannya.

“Wah…. Ada angin apa nih yang bawa kamu kemari….” sapanya ramah.

Aku pun tersenyum, hambar.

“Senyum kamu jelek Nie, pasti sedang ada sesuatu.”

“Ya ampun, tau aja Mbak ini kalau aku sedang gak enak hati,” bisik hatiku.

“Gak Mbak, gak apa-apa cuman lagi gak enak aja ama seseorang. Makanya cari angin segar ke sini. Siapa tau ada seteguk pencerahan yang kudapat di sini.”

“Kamu tuh ya sensitif banget kalo jadi orang. Udah lupain aja yang udah lalu itu. Pasrahkan semua sama Yang Di Atas, Allahlah yang akan membalasnya, bukan kamu. Janganlah jadi pendendam” sentilan halus Mbak Asti memancingku untuk bercerita.

“Memang aku ini pendendam Mbak. Jika orang berbuat baik padaku, aku akan berbuat lebih baik lagi padanya. Tapi jika orang berbuat jahat padaku, aku akan lebih jahat lagi padanya. Aku berusaha membalas semua kebaikan orang dengan sepenuh hatiku, semaksimal kemampuanku. Tapi aku bakal sangat terluka jika orang itu telah menyakitiku, apalagi sampai mengkhianatiku”.

“Sifat kamu tuh harus diubah Nie. Dari satu sisi kamu memang baik, membalas kebaikan orang lain dengan semaksimal mungkin, dengan tulus. Tapi sangat salah jika kejahatan pun kamu balas juga. Kamu tidak berhak membalas kejahatan itu. Biarlah orang lain mendzalimi kita, kita tidak usah membalasnya. Allah itu Maha Adil, Nie. Allah pasti akan membalas orang yang jahat sama kamu. Makanya serahkan saja semuanya pada Allah. Biar Allah yang menyelesaikannya. Kamu akan capek sendiri jika berusaha membalas kejahatan orang. Jika kamu tidak berhasil membalasnya, kamu akan tambah sakit hati, dan malah kamu yang menjadi berdosa. Berdo’alah, doa orang yang terdzalimi itu akan dikabulkan Allah,” kata demi kata itu mengalir deras dari bibirnya.

Tak terasa mataku berkaca-kaca. Aku tidak menceritakan hal yang sebenarnya pada Mbak Asti. Tapi dia seperti bisa membaca pikiranku.

“Aku pernah disakiti orang lebih dari kamu. Ah… kamu itu gak ada seujung kuku penderitaanku. Tapi kamu lihat, apakah aku balas dendam sama orang yang menyakiti aku itu ? Sama sekali aku gak membalasnya, aku hanya pasrah apapun yang terjadi pada diriku. Hanya pasrah……… aku yakin karma itu ada. Aku yakin Allah Maha Adil. Semua serahkan saja pada Yang di Atas. Kita sebagai manusia hanya dapat memohon semoga kita dapat diberikan petunjuk olehNya,” dengan berapi-api Mbak Asti meyakinkan diriku.


(mau tau cerita kehidupan Mbak Asti ? tunggu dech kelanjutannya...)

Monday, August 15, 2005

Membela Yang Benar

Sepulang sekolah si kecil berlari-lari menghampiriku.

“Ma…… Aa nakal, Aa tadi marahin Ade di sekolah……”.

“Ade kali yang nakal, Ade gangguin Aa yaa ?” ujarku sambil merengkuh tubuh mungilnya ke dalam pelukanku.

“Bener ma…. Aa tadi marahin Ade. Trus Ade gak boleh ikut main ama Aa……”.

“Ade gak boleh bohong yaa……, Aa kan baik……”

Seketika meledaklah tangisnya, “Mama selalu belain Aa. Mama gak percaya ama Ade. Bener…. Ade gak bohong Ma…. Kan Mama bilang kita gak boleh bohong. Aa tadi marahin Ade…… ”.

Hm…… aku menarik nafas dalam. Aku salah, aku telah melukai hatinya dengan mengatakan dia “bohong”. Mungkin pula aku ini melukainya untuk yang kedua kalinya. Pertama, hatinya terluka oleh kakaknya dan kini aku menambah jumlah luka itu di hatinya.

Di mataku Aa adalah anak yang baik, sholeh dan pendiam. Sesuai namanya Hanifan, dari kata Hanif yaitu “yang selalu lurus”. Lurus akhlaqnya, semoga. Dia selalu melakukan sesuatu sesuai dengan aturan, hingga dia selalu tampak “bersih” di hadapanku.

Tapi aku tidak tahu pergaulannya di luar sana. Sesuatu yang tampak bersih di hadapanku, belum tentu bersih juga di luar sana. Kadang pergaulanlah yang mewarnai kehidupan anak kita.

Kucoba bersikap bijak. Kucoba menilai sesuatu secara objektif, menilai orang dari tingkah lakunya. Bukan menilai secara subyektif, hanya menilai bagus jika orang itu kita senangi. Kita menutup mata, bahwa seseorang yang “bersih” mungkin saja melakukan suatu kekhilafan.

Menelaah sesuatu sebelum memberikan “statement”. Karena setelah lidah yang tak bertulang ini memberikan suatu “statement”, pasti akan ada hati yang terluka, hati-hati mungil yang selalu mewarnai kehidupanku. Aku ingin membela yang benar.

Ya….. Mama akan membela yang benar De……..

Nie Troozz

Friday, August 12, 2005

Sahabat Setia

Bertahun-tahun sudah buku mungil berjilid kain beludru yang bermotif bunga-bunga indah itu, lengkap dengan kunci gembok mungilnya, selalu setia menemani malam-malam sendiriku. Dia selalu setia mendengarkan setiap gundahku. Kertas warna biru mudanya selalu ikhlas menerima sentuhan penaku. Walau tulisan itu kadang ada yang luntur tertimpa tetes demi tetes air mataku.

Lembar demi lembar kubuka kembali buku mungil itu. Benar….. tak pernah ada yang tahu isi buku itu hingga detik ini. Selalu tersimpan rapi. Membaca cerita indah, membuatku tersenyum mengingatnya. Membaca cerita sedih, membuat mataku berkaca-kaca kembali saat teringat masa-masa pahit itu.

Ya…..dulu buku itulah sahabat setiaku. Diaryku, tempat curahan hatiku, tempat aku mengadu. Buku yang tak pernah mengkhianatiku, tak pernah membocorkan rahasiaku. Kini buku itu telah lapuk dan berdebu. Tapi berat rasa hati ini tuk mengusirnya dari lemariku. Dia yang selalu setia. Dia yang selalu rapat-rapat menyimpan rahasia. Ada tangis, ada senyum, ada tawaku di dalamnya. Ada sejuta cerita yang tak kan terulang tuk selamanya.

Tapi alhamdulillah…. aku punya beberapa sahabat yang sangat mempercayaiku. Mereka selalu mencurahkan isi hatinya padaku. Mereka tumpahkan segala gundah mereka padaku. Aku bahagia dipercaya oleh mereka. Dengan berbekal ilmu yang hanya sedikit, kucoba membantu mereka. Ataupun hanya menyediakan telinga bagi gundah mereka.

Gundah mereka adalah amanat bagiku. Amanat yang harus kututup rapat-rapat. Sungguh berat memikul amanat sahabat-sahabatku ini. Baik besar ataupun kecil, amanat tetaplah amanat. Tergelincir sekali saja lidah ini membuka gundah mereka, aku menjadi khianat.

Aku ingin seperti Diaryku…. Yang selalu setia mendengar gundah sahabatku. Aku ingin mulutku seperti gembok mungilku, yang selalu terkunci rapat menyimpan semua yang ada di dalamnya. Aku tak ingin masuk golongan orang-orang munafik yang tak bisa memegang amanat.

Semoga kita semua dijauhkan dari golongan orang-orang munafik.
Dasar nerakalah tempat orang-orang munafik itu……
Naudzubillaahi min dzalik……….



Nie Troozz

Thursday, August 04, 2005

Tipe Cowoq

Kalo cowoq ganteng pendiam ; Ceweq2 bilang : woow…cool banget…
Kalo cowoq jelek pendiam ; Ceweq2 bilang : ih…kuper….


Kalo cowoq ganteng jomblo ; Ceweq2 bilang : pasti dia perfeksionis…
Kalo cowoq jelek jomblo ; Ceweq2 bilang : sudah jelas kagak laku…


Kalo cowoq ganteng berbuat jahat ; Ceweq2 bilang : nobody’s perfect…
Kalo cowoq jelek berbuat jahat ; Ceweq2 bilang : pantes…tampangnya kriminal


Kalo cowoq ganteng nolongin ceweq yang diganggu preman; Ceweq2 bilang : wuih…jantan kayak di film2…
Kalo cowoq jelek nolongin ceweq yang diganggu preman ; Ceweq2 bilang : pasti premannya temennya dia…


Kalo cowoq ganteng dapet ceweq cantik ; Ceweq2 bilang : klop…serasi banget…
Kalo cowoq jelek dapet ceweq cantik ; Ceweq2 bilang : pasti main dukun….


Kalo cowoq ganteng diputusin ceweq ; Ceweq2 bilang : jangan sedih... khan masih ada aku…
Kalo cowoq jelek diputusin ceweq ; Ceweq2 bilang : … (terdiam, tapi telunjuknya meliuk-liuk dari atas ke bawah)…


Kalo cowoq ganteng penyayang binatang ; Ceweq2 bilang : perasaannya halus… penuh cinta…
Kalo cowoq jelek penyayang binatang ; Ceweq2 bilang : sesama keluarga emang harus menyayangi..


Kalo cowoq ganteng bawa BMW ; Ceweq2 bilang : matching… keren luar dalem
Kalo cowoq jelek bawa BMW ; Ceweq2 bilang : mas…majikannya mana ?…


Kalo cowoq ganteng males difoto ; Ceweq2 bilang : pasti takut fotonya disebar2in…
Kalo cowoq jelek males difoto ; Ceweq2 bilang : gak tega liat hasil cetaknya yaa…


Kalo cowoq ganteng naek motor gede ; Ceweq2 bilang : wah…kayak Lorenzo Lamas…
Kalo cowoq jelek naek motor gede ; Ceweq2 bilang : awass…..mandragade lewat…


Kalo cowoq ganteng nuangin air ke gelas ceweq ; Ceweq2 bilang : ini baru cowoq gentleman…
Kalo cowoq jelek nuangin air ke gelas ceweq ; Ceweq2 bilang : naluri pembantu emang gitu….


Kalo cowoq ganteng baca email ini langsung ngaca sambil senyum2 kecil….
“life is beautiful”

Kalo cowoq jelek baca email ini, frustasi, ngambil tali jemuran, trus teriak2…
“hidup ini kejaaaaammmmmmm!!!!”