Hanifan cakep Ifan cakep AA cakep Mamanie and her sons Farhan cute Farhan lucu Farhan imut

Friday, July 29, 2005

he...he...he...

(kiriman email seorang teman)


Ini ok jg klo dijadiin referensi untuk belajar Bahasa Inggris.

Duyu andersten Inglis? Dogh yu spik inglis wel, ai bet yu difikul andesten dis (D.O. setelah belajar 1 minggu BAHASA INGGRIS)




> PART ONE


Ane kaget banget kemaren ini pas lewat di depannye kelurahan, ngebace spanduk nyang isinye:


SAVE THE COUNTRY, HANG TNI ... SAVE THE PEOPLE, HANG POLRI


Usut punye usut, ternyate nyang dimaksud ialah :


"Keselametan negare, tergantung TNI .. keselametan rakyat, tergantung POLRI"


Bujubuneng ..., rupenye si Lurah baru ikutan kursus bahase Inggris tapi udah nekat buat tampil ...





> PART TWO


Seorang supir lagi nyetirin boss bule Amrik,kebetulan lagi sial.
Mobilnya nyodok kendaraan di depannya karena mendadak berhenti. Dengan terbata2 ia minta maaf kepada si boss:


Supir: Sorry Sir, I brake brake, do not eat. After I check the wheel no flower again. (maaf Tuan, saya rem2 nggak makan, setelah saya cek rodanya nggak ada kembangannya lagi)


Begitu si Boss mau ikutan ribut sama yg ditabrak, dia bilang:


Supir: Don't follow mix, Sir! The bring that car if not wrong is the children fruit from manager moneys,he stupid doesn't play! Let know taste.
(nggak usah ikut campur, Pak! Yang bawa mobil itu kalo nggak salah anak buah dari manajer keuangan, dia memang goblok bukan main!Biar tahu rasa)


Besoknya si supir gak masuk kerja, terus pas lusanya dia masuk

si boss bule nanya:
Bule : Why didn't you come to work?


Supir : I am sorry boss, my body is not delicious, my body taste like enter the wind. (maaf boss, badan saya tidak enak, badan saya rasanya seperti masuk angin)





> PART THREE


Suatu hari ada bule kehilangan sepeda motornya yg dia parkir didepan toko di sekitar jalan Malioboro, Yogya.

Lalu dia bertanya ke Paijo, yg saat itu kebetulan berada di tempat parkir, apakah dia ngeliat org yg ngambil sepeda motornya.


Paijo: Yes, he use to table square-square. Worth he fast-fast go without wet expire (Iya, dia pakai kemeja kotak-kotak. Pantes dia cepat-cepat pergi tanpa basa basi)

Lalu dengan sok berwibawa Paijo menasehati,

Paijo: Sir, different river, if park bicycle motor heart-heart, yes?
(Tuan, lain kali kalo parkir sepeda motor hati-hati ya?)

Tapi bule itu diam saja karena nggak tau mau jawab apa, shg Paijo jadi ngedumel,
Paijo: Basic bule! (Dasar bule!)

Karena nggak tau harus ngomong apa lagi, si bule ngeloyor pergi dan dengan PD-nya Paijo bilang,


Breasttttt!" sambil melambaikan tangannya.
Maksudnya sih: "Dadaaaaa!"


hehehehe.......

Wednesday, July 27, 2005

Sabar

“Sabar……sabar……..sabar……..”

Itulah yang diucapkan sahabatku semalam.
Sabar……….
Menurut penilaianku, aku termasuk orang yang sabar. Apa aku kurang sabar ? Apa menurut penilaian Allah aku masih kurang sabar ?

Kurenungi kata itu semalaman. Kuingat-ingat terakhir kali aku sabar. Banyak orang bilang bahwa aku sekarang gampang marah, gampang tersinggung dan…ya itu….tidak sabar. Selalu dan selalu merasa diri ini benar.
“Aku udah sabar koq, tapi sabar itu kan ada batasnya.”
Tapi sahabatku itu tetap mengatakan aku harus sabar.

Pukul empat pagi kubuka mata ini. Masih terasa berat. Namun aku harus melepas suamiku yang akan bertugas ke luar kota, subuh tadi. Terasa berat dan merasa kesal karena sering ditinggal suami ke luar kota. Tapi ingat kata-kata sahabatku,”sabar….”
Wajah ini yang biasanya cemberut melepas kepergiaannya, kuusahakan tersenyum semanis mungkin. Satu kecupan hangat pun mendarat di keningku…… buah dari “sabar” yang pertama.

Kesal dan marah pada suami rasanya hilang, berganti dengan rasa syukur, bahwa aku masih memiliki suami. Orang lain ada yang telah ditinggalkan suaminya atau bahkan belum memiliki suami sampai sekarang.


Setelah suami pergi ke luar kota, biasanya aku beres-beres rumah sendirian sambil merengut. Semua harus kukerjakan sendiri. Padahal aku harus pergi kerja pagi-pagi sekali. Sekali lagi aku ingat kata-kata sahabatku “sabar”. Kubangunkan anak-anakku, kusuruh mandi, berpakaian dan sarapan. Mereka yang biasanya sulit sekali dibangunkan dan mandi, subuh tadi dengan mudahnya mereka melakukan semuanya. Pergi sekolah dengan senyuman…… buah dari “sabar” yang kedua.

Alhamdulillah …… Aku memiliki dua anak yang sholeh. Masih banyak saudara-saudaraku yang belum dipercaya Allah mendapat amanah yang begitu besar ini.


Seperti biasa aku berebut mengejar angkot bersama dengan bapak-bapak, anak-anak sekolah, ibu-ibu yang pulang dari pasar, dan sebagainya. Saling sikut, saling dorong, yang penting berhasil mendapat tempat duduk yang nyaman. Program hari ini kan “sabar”….. aku pun mengalah pada seorang ibu untuk naik lebih dulu. Biarlah aku naik angkot yang berikutnya. Aku pun mundur dan mencari angkot berikutnya. Tiba-tiba ibu itu turun lagi dari angkot.
“Wah.... rezeki nich,” pikirku. Apakah ini buah kesabaranku yang ketiga ?

Kulirik sedan merah di sebelah angkotku, duh….. nyaman banget. Eit…jangan melihat ke atas, alhamdulillah….. aku masih punya ongkos untuk naik angkot. Coba lihat yang berdesak-desakan naik bis kota supaya irit ongkosnya. Atau yang berpeluh berjalan kaki di trotoar karena tak ada uang di sakunya. Bersyukurlah………


Sampai di kantor tugas sisa kemarin telah menanti. Tugas rekan kerja yang tidak bertanggung jawab dibebankan kepadaku. Kemarin aku sempat marah-marah tak karuan. Tapi aku jadi rugi dua kali. Tugas tetap aku kerjakan dan aku kehabisan energi buat marah-marah.

Hari ini kumencoba “sabar”. Melaksanakan tugas dengan tersenyum. Melihat ke sekeliling. Begitu banyak orang yang tidak mendapat kesempatan mempunyai pekerjaan yang layak seperti aku. Tukang parkir di halaman kantor, tukang sol sepatu di trotoar belakang, tukang kue yang menggelar makanan di gerbang depan. Berapa penghasilan yang bisa dibawa pulang ke rumah untuk mengepulkan asap dapurnya ? Berapa lama mereka bisa mengumpulkan uang untuk sekolah anaknya ?
Alhamdulillah…….. aku lebih beruntung dari mereka.

Itu baru yang aku alami sejak pukul empat subuh hingga pukul tujuh pagi ini. Coba semua hal itu dialami setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, selama bertahun-tahun. Semua yang disikapi dengan “sabar” membuahkan sesuatu yang menjadikan kita lebih bersyukur dan terus menerus menghitung nikmat yang Allah berikan.

Lalu nikmat yang mana lagi yang engkau dustakan ?

Nie Troozz

Tuesday, July 26, 2005

Menghisab Diri

Saat seseorang datang mencurahkan isi hatinya padaku, dengan begitu mudahnya lisan ini memberikan nasehat-nasehat. Aku bisa dengan mudahnya memberikan solusi atas semua permasalahan yang dihadapinya. Kata-kata indah untuk menyejukkan hati mengalir deras dari bibirku.Untaian kata-kataku itu kadang bisa membuat orang lain bisa tersenyum, bisa bangkit lagi, bisa "hidup" lagi.

Namun di saat diriku sendiri tengah terpuruk dalam kegalauan, aku tidak bisa menolong diriku sendiri. Aku terpuruk makin dalam. Terseok-seok langkahku untuk bangkit lagi. Hampir putus asa diri ini untuk "kembali".

Memang lisan ini sangat mudah untuk menilai orang lain.
Seperti kata pepatah "Semut di tengah lautan tampak jelas, tapi gajah di pelupuk mata tidak kelihatan".


"Eh.... si A itu musyrik lho, dia kan percaya banget sama paranormal....."

Tapi apakah aku ini yang mengaku beriman, sudah percaya bahwa hanya Allahlah penolongku ? Kadang malah berterima kasih yang berlebihan pada bos yang menggajiku, pada dosen yang memberi nilai bagus untukku, pada orang yang tulus membantuku, malah kadang sombong bahwa semua itu adalah hasil kerja kerasku.
Lupakah jika semua itu karunia Allah semata ?


"Kamu tau gak, Si B kan gak pernah sholat..............."

Apakah aku ini sudah betul sholatnya ? Sudah fasihkah bacaan-bacaan sholatku ? Apakah aku ini selalu tepat waktu jika menunaikan kewajiban yang satu itu ? Apakah tak ada riya dalam hatiku pada saat melakukannya ?


"Ibu yang di ujung jalan itu, pelitnya minta ampun..........."

Tapi apakah hartaku juga sudah bersih dari hak orang lain ? Apakah aku tetap bisa bahagia di saat orang lain menderita ? Apakah aku masih bisa tidur nyenyak sementara orang lain tak bisa tidur karena menahan lapar ?


"Aku gak suka lho sama orang itu. Dia tuh suka ngomongin orang lain ...bla...bla...bla..."

Lha... apakah aku tidak menyadari bahwa aku pun membicarakan orang lain. Menggunjing perbuatan orang lain, yang sama nilainya dengan memakan bangkai saudaraku sendiri ? Astaghfirullaah....

Duh..... begitu mudahnya lisan ini menilai orang lain. Sedangkan serentetan pertanyaan selalu membayangi setiap kata yang keluar dari bibir kita. Serentetan hisab nanti yang entah berapa panjangnya, yang entah berapa pertanyaan yang akan menyerang kita di alam sana.

Jadi benarlah bahwa "Berkatalah yang baik, atau lebih baik diam".
Mungkin setiap kata yang keluar dari bibir kita harus benar-benar terseleksi, agar tak ada rentetan pertanyaan yang akan menyerang kita di alam yang kekal abadi di sana..... Nanti.....

Nie Troozz

Wednesday, July 20, 2005

....share, never be unfair

(ini diambil dari majalah "Halo Bandung" edisi Juli 2005)

lilin

......share,

never be unfair




Percayakah Anda bahwa hidup selalu adil ? Ambil mudahnya saja, kadang kita juga berlaku tidak adil.

Sekarang saatnya anak Anda menikmati liburan panjang, sudah terpikirkah oleh Anda untuk mengajak si buah hati berlibur kemana ? Kalau belum, wajar jika seseorang mengkhianati Anda.

Mungkin Anda terlalu sibuk dengan diri sendiri. 50:50 untuk Anda dan anak Anda.



Uang di dompet Anda masih ratusan ribu, bahkan beberapa kartu kredit dan kartu ATM berjejer di dompet Anda, tapi Anda begitu enggan mengeluarkan 500 rupiah atau bahkan hanya 100 rupiah untuk anak jalanan. Kalau ya, wajar saja jika seseorang merusak kepercayaan Anda.

Mungkin Anda terlalu kikir untuk berbagi. 50:50 untuk Anda dan anak jalanan.



Sampai saat ini orang masih meragukan kemapuan Anda, padahal Anda sudah melakukan yang terbaik yang bisa Anda lakukan.

Mungkin satu waktu Anda pernah menyakiti perasaan seseorang dengan sangat. Wajar, jika sampai saat ini Anda menerima perlakuan seperti itu. 50:50 untuk Anda dan orang yang teraniaya !



Jadi jika Anda baru saja mengambil keuntungan dari seseorang dengan cara yang tidak adil dan Anda masih merasa cukup bahagia....

Just wait and see....'coz life will always be 50:50

May be, you just don't realize !

Langitku Kembali Biru

Kebun Teh Ciwidey - Bandung

Awan hitam yang pekat itu perlahan terkikis, terburai, menjadi gumpalan yang kecil, menjadi lebih kecil lagi, teramat kecil dan akan hilang diterpa hembusan angin. Dan sang waktu pun akan menggiring awan itu secara perlahan, menjadikan langit biru nan cerah, luas sepanjang mata memandang.

Cobaan yang maha berat yang aku alami, bagaikan awan hitam itu, pekat. Rasanya tak akan kujumpai langit biru nan cerah itu. Kusandarkan diriku pada seseorang yang kuyakini akan bisa membantuku keluar dari cobaan ini, namun seseorang itu hanyalah seorang makhluk, seorang makhluk yang tidak akan selamanya bisa menjadi sandaran hidupku.

Kuisi diary kesayanganku, kutumpahkan semua gundahku. Tapi dia hanya benda mati yang tak bisa berbuat apa-apa. Semua gundahku hanya akan tertumpuk, berdebu dan akan bermuara dalam kobaran api pembakaran sampah.

Tapi di sini, di blog dan MP ini, aku bisa menumpahkan segala gundahku. Aku bisa mendapat pencerahan dalam hidupku. Aku bisa menepis awan hitam itu dan mendapatkan langitku yang kembali biru. Aku mendapat banyak sahabat untuk berbagi. Aku mendapat banyak sekali guru di sini. Aku mendapat banyak nasehat untuk memperbaiki diri. Aku bisa mendapat pengalaman berharga dari tulisan-tulisan sahabat semua. Terbukalah mataku bahwa bukan hanya aku yang mendapat cobaan dariNya.

Gundahku terasa sirna. Terima kasih sahabat-sahabatku, tanpamu aku tak akan bisa bangkit lagi seperti sekarang ini. Aku sangat mengharapkan kehadiranmu, agar aku bisa tersenyum kembali.



Nie Troozz

Thursday, July 14, 2005

Fitrah Seorang Wanita

Sedari kecil aku dipaksa hidup mandiri. Sebagai anak sulung dengan tiga orang adik yang masih kecil-kecil, aku dituntut untuk hidup lebih dewasa dari umurku yang sebenarnya. Tak ada kakak sebagai tempat untuk bergantung atau sekedar berbagi cerita. Orang tuaku pun terlalu sibuk bekerja untuk menutupi kebutuhan ekonomi keluarga. Semua masalah yang aku hadapi, harus bisa kuselesaikan sendiri.

Mungkin ada bagusnya dididik seperti itu. Aku menjadi wanita yang ulet, tak pantang menyerah dan tidak mau kalah oleh laki-laki. Selalu berprinsip “Kalau laki-laki bisa, kenapa wanita nggak ??”.
Hingga aku selalu berlomba-lomba menjadi ranking pertama di sekolah. Ada rasa bangga rankingku berada di atas laki-laki. Pun beberapa kali terpilih menjadi ketua kelas, membuat aku bisa memerintah para laki-laki.

Semua itu aku lakukan untuk menunjukan kalau wanita itu bukan makhluk yang lemah, yang mudah saja disepelekan oleh laki-laki. Wanita pun mampu melakukan apa yang laki-laki bisa lakukan.

Tapi aku bukan gadis tomboy. Hanya dalam bidang ilmu pengetahuan saja aku berani bertarung dengan laki-laki. Keseharianku biasa saja. Memakai rok, belajar menari, memasak, mengasuh adik-adik. Tapi itu semua hanya sebatas kewajiban membantu orang tua. Buktinya sampai sekarang aku tidak hoby memasak dan tidak suka anak-anak. Kecuali anakku sendiri tentunya.

Tetapi ternyata bagaimana pun dibuat semandiri dan setegar mungkin, wanita tetaplah wanita. Wanita yang dalam suatu masalah kadang membutuhkan bantuan orang lain untuk mencurahkan segala gundahnya. Wanita butuh sahabat yang akan selalu siap menyediakan telinga dan hatinya.

Pernah aku mengalami suatu episode hidup yang hampa. Rasanya tak ada kebahagiaan dalam hatiku. Semuanya hampa. Tak ada yang bisa membuatku tersenyum. Semua sahabatku pun sudah berkeluarga dan sibuk dengan urusannya masing-masing. Sehingga tidak bisa datang setiap aku membutuhkan kehadirannya.

Aku terjebak dalam rutinitas yang sangat membosankan. Bangun sebelum subuh, mencuci, menyiapkan sarapan, menyiapkan keperluan anak sekolah, pergi ke kantor, pulang sore, kadang malam. Sepulang kerja menemani anak-anak membuat PR, nonton TV, tidur. Begitu dan begitu setiap hari. Jenuh dan sangat membosankan.

Hari-hariku, kuhabiskan dengan menghambur-hamburkan uang. Memanjakan diri di salon kecantikan atau berbelanja tak tentu tujuan. Awalnya kehampaanku terobati. Tapi lama-kelamaan hal itu tidak dapat mengobati kehampaan dalam diriku. Kebahagiaan itu entah kemana, seolah hilang ditelan bumi.

Hingga aku teringat kata-kata sahabatku, “Kebahagiaan itu ada pada keluargamu, pada anak-anakmu. Lihatlah mereka, pandanglah mata anakmu, akan ada kebahagiaan di sana. “

Hari Sabtu aku pun datang ke sekolah anakku. Beberapa orang tua sedang asyik mengobrol sambil menunggu anaknya. Aku hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala, karena tak satu pun yang aku kenali. Karena aku tidak pernah mengantar anakku ke sekolah. Hanya satu kali, ya satu kali hari pertama masuk sekolah, hanya itu.

Aku memandang anakku dari balik jendela. Belajar dengan ceria. Sekilas dia melihat ke jendela. Lalu dia berteriak kegirangan.
“Eh, liat ada mama saya, itu liat di jendela ada mama saya.”
Terlihat dia begitu girang melihat wajahku dari balik jendela. Dia hampiri jendela dan mencoba meraba wajahku dari balik kaca jendela.
“Mamaaa......”
Nampaknya dia tidak sabar lagi menunggu bel berbunyi.

Setelah bel tanda pelajaran usai berbunyi, dia berlari ke luar menghampiriku. Dia memeluk aku dengan hangatnya.
“Hei… Randy, ini mama saya. Saeful….saeful….ini mama saya,” betapa bangganya dia memperlihatkan ibunya pada teman-temannya.

Seketika rasa haru menyeruak dari kalbuku. Seorang ibu yang egois, yang hanya memikirkan kebahagiaannya sendiri. Di mata bening anakku, aku melihat sebongkah kebahagiaan itu. Ada sesuatu yang tak dapat kubendung, mengalir hangat di pipiku.

Mungkin inilah fitrahku, fitrah seorang ibu, fitrah seorang wanita.
Disinilah sumber kebahagiaanku.

Nie Troozz

Wednesday, July 13, 2005

Buruknya Berburuk Sangka

“Bu, ada saudara ibu mau ketemu” kata resepsionis kantor via telepon.
“Siapa ?” tanyaku.
“Katanya dari Jalan Laswi” lanjut resepsionis lagi.
“Duh…. Pasti mau pinjam uang lagi” pikirku, “Gimana yah, ini kerjaan banyak banget, tamu yang mau ketemu bos juga udah antri.”
Hatiku memang agak berat menerima kedatangannya.

“Ya udah, suruh naik aja” kataku pada resepsionis dengan berat hati.

Dari kejauhan terlihat saudaraku menyusuri lorong menuju loby kantor. Tubuh kurus dengan pakaian seadanya. Nampak jelas kesusahan hidup dari kerut-kerut di wajahnya. Senyumnya lebar seakan ingin menutupi kesusahan hidupnya.

“Nie, apa kabar ? Kelihatan agak gemuk sekarang. Koq udah lama gak pernah main ke rumah.”
Aku pun menyambut kedatangannya dengan senyum yang dipaksakan.
“Duh…sekarang tuh sibuk banget. Tiap hari pulang malam. Sabtu dan Minggu juga selalu ada acara.”

Aku tunggu kata-kata lanjutannya yang pasti tidak jauh dari soal pinjam meminjam uang.

“Saya kebetulan lewat ke daerah sini, mau cari spare part blender yang rusak. Ini ada makanan kesukaan Akang, kebetulan kemarin masak banyak. Maaf ya ganggu kerja kamu. Sampaikan salam saya buat Akang. Assalaamu ‘alaikum.”

Dia pun berlalu dan aku tidak memberikan uang sepeser pun, walau itu hanya untuk ongkos pulang. Terlihat jelas kekecewaan di wajahnya. Tapi dia tidak berani mengutarakannya. Langkah gontainya kupandangi hingga hilang dari ujung lorong.

Duh… ada rasa perih yang menyusup ke dalam hatiku. Betapa jahatnya hatiku telah berburuk sangka padanya. Aku telah menyangka kedatangannya hanya untuk meminjam uang padaku. Padahal kedatangannya hanya untuk mengirim makanan kesukaan Akang, suamiku.

Tak henti-hentinya aku menyesali diri, betapa jahatnya aku. Hingga sore pekerjaanku tak selesai juga, hingga aku tak sempat mampir ke rumahnya untuk minta maaf. Sepanjang malam tadi fikiranku terus tertuju padanya. Naik apa dia pulang tadi, adakah ongkos di sakunya, atau berjalan kakikah dia menuju rumahnya ? Astaghfirullaah………. Mengapa diri ini setega itu padanya.

Sesak dada ini pada saat melihat rumahnya. Rumah yang hanya sepetak ditempati oleh dia dan tiga orang anaknya. Sementara dua lagi anaknya yang lain telah dipungut oleh saudara, karena dia sudah tidak sanggup membiayai sekolahnya. Berat sekali beban dia menanggung lima orang anaknya, seorang diri karena suaminya telah meninggal beberapa tahun yang lalu.

Warung kecil tempat dia menggantungkan nasibnya, hanya cukup untuk makan sehari-hari. Sehingga untuk biaya sekolah selalu meminjam ke kanan dan ke kiri. Dan semua pinjamannya tidak pernah dikembalikan. Sehingga orang-orang yang pernah memberi pinjaman, enggan untuk memberinya kembali. Termasuk aku yang pada saat tidak memiliki uang lebih, kadang membantu walau mencari “sumber pinjaman” lain, sehingga jika dia tidak mengembalikan, maka akulah yang bertanggung jawab.

Kasihan memang. Tapi karena pernah ada perbuatannya yang mencoreng nama baik keluarga besar, jadilah kami enggan menolongnya. Padahal mungkin dia telah bertobat. Allah saja Maha Pemaaf, kenapa kami begitu sombong untuk memaafkannya.

Melihat fisiknya yang memprihatinkan, rasanya tak tega membiarkan dia tenggelam dalam kefakiran. Mungkin sepulang bertemu aku kemarin ada rasa sakit di dadanya. Ada harapan atas perhatianku padanya. Atau mungkin ada sebait doa pada Yang Kuasa atas ketidakpedulianku padanya.

Ya Allah, ampunilah hati ini yang tidak peka terhadap penderitaan orang lain. Jangan biarkan doa-doanya akan menuntut kami di akhirat nanti sebagai orang-orang yang sombong dan tidak mau peduli.

Maafkan aku yang dhaif ini saudaraku………..


Nie Troozz

Friday, July 08, 2005

Korban-korban Keegoisan

“Apa ? Tamara Bleszynski mau bercerai juga ? Duh….. jangan dong…..
Dia kan artis favoritku. Apalagi semenjak sinetron religius yang dibintanginya selalu menghiasi bulan Ramadhan, aku makin kagum padanya. Dia sepertinya seseorang yang sabar dan pasrah pada kehidupan. Sepahit apapun yang dialaminya”.

“Yee… itu kan cuman tuntutan peran, aslinya mana kita tau….”.

Sahut menyahut seputar gosip perceraian artis biasa terdengar di kantorku. Hm…entah sudah berapa puluh artis yang cerai dengan mudahnya. Kawin lagi, cerai lagi. Apa mereka tidak tahu dampak keegoisan mereka dari perceraian itu. Anak, ya kondisi psikis anak, itu salah satu yang harus dipertimbangkan orang tua.

Aku jadi teringat cerita temanku.

“Mau ikut mama atau ikut papa ?” suara seorang ibu terdengar menggelegar bagai guntur di siang hari. Sang anak yang baru pulang sekolah, sepatu pun belum sempat dilepas, benar-benar terperanjat dengan pertanyaan ibunya. Benar-benar tak diduga akan ada pertanyaan seperti itu. Sang ibu tidak peduli apa yang dirasakan anaknya. Dia tetap mengemasi pakaiannya sambil berlinangan air mata.

Memang setiap hari selalu terdengar perang mulut di rumah itu. Berkali-kali sang ibu marah yang sangat meledak-ledak. Tak tahu lagi apa yang harus diperbuat. Sang anak pun yang tidak tahu persoalan sebenarnya, mulai gerah dengan keadaan keluarganya.

Kadang di sekolah, sang anak sering ditegur guru karena memperhatikan pelajaran dengan tatapan mata kosong. Hingga nilai-nilainya turun drastis. Sepulang sekolah sang anak jadi malas pulang ke rumah. Dia keluyuran tak tahu arah tujuan. Dia menjadi tidak percaya diri, cepat marah, cepat tersinggung, dan selalu mencari perhatian orang lain.

Banyak sekali korban-korban keegoisan orang tua yang lebih parah. Anak akan mengalami inferiority complex, malu, minder, merasa dikucilkan oleh lingkungan. Rasanya tak ada lagi orang tua yang memperhatikan dirinya, tak ada lagi orang tua untuk menggantungkan hidupnya.

Sangatlah berat bagi anak untuk menentukan dia harus ikut siapa, ayah atau ibunya. Karena semua anak pasti ingin keduanya ada untuk melengkapi hidupnya.

Ada anak yang lari ke minuman-minuman keras, narkoba, dan semua yang bisa membuat sang anak mabuk hingga bisa melupakan kesedihannya. Setelah sadar dia akan kembali merasakan kehampaan hidupnya, dan akan lari lagi ke narkoba itu, karena dalam keadaan mabuklah dia mendapat ketentraman. Lama kelamaan menjadi ketagihan, dan jika tidak mempunyai uang untuk membeli minuman dan obat-obatan itu, dia akan melakukan tindak kriminal kecil-kecilan.

Ada anak gadis yang lari pada kekasihnya sebagai tempat curhatnya. Andai sang kekasih orang yang beriman, tentu amanlah dia. Tapi seandainya sang kekasih memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan ini, dia akan meraih gadis itu dalam pelukannya. Terjadilah prostitusi. Astaghfirullah….

Ada pula yang merasa tak ada gunanya lagi hidup, dengan memperpendek umurnya. Berjalan di atas rel kereta api menyongsong datangnya sang kereta, memotong urat nadi dengan sebilah pisau, ataupun menenggak racun serangga.

Sungguh, sangatlah mengerikan korban-korban keegoisan orang tua itu. Anak-anak yang sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya, harus berlari mencari dunianya sendiri. Anak-anak yang sangat membutuhkan cinta orang tuanya, harus terseok-seok mencari cinta dari dunia lain yang pasti tidak akan sehangat dan seikhlas orang tuanya.
Anak-anak sangat mengharapkan cinta itu dari orang tuanya, pasti.

Nie Troozz

Wednesday, July 06, 2005

Nasib Para Pengebor Kapal

Seorang lelaki datang bersama dua orang anak dan isterinya yang sedang hamil tua. Lelaki itu belum terlalu tua, tapi terlihat gurat-gurat halus menghiasi wajahnya. Badannya kurus tak terawat. Sedang dua anaknya berpakaian lusuh dan isterinya tersenyum hambar saat bertemu muka denganku. Terlihat wajah-wajah kuyu penuh pengharapan.

Lelaki itu biasanya terlihat sangat gagah. Pakaian yang selalu necis, hand phone keluaran terbaru selalu bertengger di pinggangnya dan dengan mobil menterengnya dia berangkat bekerja.

Tapi saat ini dia di hadapanku, dengan segala duka yang tak dapat tertutupi.
“Bapak ada ?”, tanyanya padaku.
“Saya ingin bertemu Bapak, mohon waktu sebentar saja”, lanjutnya.
Hati ini tak kuasa untuk menolak permohonannya karena melihat penampilannya yang jauh berubah. Lalu aku mempersilakan dia bertemu dengan Bapak, Pimpinan Perusahaan kami.

Telah kuduga, lelaki itu menghadap Bapak untuk minta kebijaksanaan Bapak untuk mencabut keputusan pemberhentian dia dari pekerjaannya. Sebuah kekhilafan telah diperbuat lelaki itu semasa bekerja di perusahaan ini. Dengan kecerdikannya dia bisa menyulap password dan mengalirkan rekening perusahaan ke rekening pribadinya.

Hidup mewah bergelimang harta itu telah dinikmatinya. Tak peduli apakah hartanya itu halal atau haram. Dia tidak ingat apa dampaknya bagi perusahaan, andai hal ini terus berlangsung. Dia tak peduli pada nasib karyawan lain yang menggantungkan hidupnya pada perusahaan ini.

***

Suatu hari dikumpulkanlah seluruh pegawai perusahaan untuk membicarakan hal ini. Pemimpin perusahaan sangatlah bijak dalam mengambil keputusan. Beliau mengatakan bahwa perusahaan ini ibarat kapal dan beliau selaku nakhodanya. Di dalam kapal ini sekarang tengah berkeliaran orang-orang yang membawa bor, untuk melubangi kapal. Lubang hasil pengeboran itu memang sangatlah kecil. Tapi dengan banyaknya pengebor itu, maka lubang akan menganga di mana-mana dan air laut perlahan akan masuk ke dalam kapal. Lama-kelamaan kapal pun akan tenggelam.

Demikian juga perusahaan ini. Apabila ada orang-orang yang “melubangi” perusahaan ini untuk keperluan pribadi. Niscaya perusahaan ini akan bocor dan lama kelamaan akan tenggelam.

“Apa yang akan Anda lakukan jika bertemu dengan pengebor kapal itu” tanya sang pimpinan.
“Buang ke laut……………” serentak pegawai menjawab dengan lantangnya.
“Ya, kita tidak ingin semuanya tenggelam kan. Nah, oleh sebab itu maka dengan sangat menyesal, saya akan bertindak tegas terhadap pengebor kapal itu, baik skala kecil maupun skala besar. Karena mungkin saja orang yang berskala kecil itu karena hanya diberi kesempatan yang kecil. Seandainya jika di depan matanya ada kesempatan besar, tentulah akan dilahapnya pula, kalau memang mentalnya sudah menjadi pengebor kapal.”

***

Dengan langkah gontai, lelaki itu bersama keluarganya keluar dari ruangan Bapak. Dengan senyum masam dia berpamitan padaku, dan istrinya terlihat menahan genangan air mata. Keputusan itu tidak dapat diganggu gugat lagi. Dia harus keluar dari perusahaan ini, dengan tanpa pesangon apapun dan seluruh kekayaannya harus dikembalikan pada perusahaan. Dia baru saja mendapat balasan atas perbuatannya di dunia ini. Apa balasan yang akan dia dapat di akhirat nanti ? Wallaahu ‘alam.



Nie Troozz

For My Really Best Friend

Seharian kemarin, entah kenapa aku ingat pada sahabatku yang sudah sepuluh tahun tak bertemu. Sahabatku semasa di sekolah menengah pertama itu walaupun hanya dua tahun kami bersama, tapi kedekatannya masih kami rasakan hingga detik ini. Bersama dalam menapaki saat-saat rawan dalam usia remaja.

Sepuluh tahun sudah dia bertugas di Pulau Sulawesi sana. Sepuluh tahun sudah kusimpan rasa rindu itu. Hanya telepon dan SMS yang menjembatani kedekatan kami. Di telinganyalah selalu kuungkapkan semua gundahku. Di hatinyalah selalu kubagi duka hatiku.

Sekolah menengah pertamaku, kumulai di sebuah kota kecil di sebelah timur Kota Bandung. Tepatnya di kota Sumedang, kota yang terkenal dengan makanan yang gurih dan bergizi tinggi, tahu. Tahu Sumedang sudah ada di mana-mana, tapi kita tidak akan merasakan gurihnya Tahu Sumedang asli jika kita tidak membelinya langsung di kota itu. Enak sekali dimakan sebagai sarapan pagi bersama lontong nasi, atau pun dimakan sebagai cemilan di sore hari. Hm…. Jadi rindu Sumedang.

“Assalamu’alaikum. Pa kabar Nie. Aku lagi di Sumedang nich, nganter liburan anak-anak rencananya seminggu di sini”.
Wah, ternyata kontak bathinku nyambung dengan sahabatku. Dia yang dari tadi ada dalam fikiran, ternyata malah mendahului mengirim SMS untukku. Padahal aku tadinya mau bikin surprise pada dia, di hari ini, hari ulang tahunnya.

Ya, hari ini, tanggal enam Juli, adalah hari istimewanya. Di hari ini dia lahir ke dunia fana ini, di hari ini pula dia memasuki hidup barunya, melangsungkan pernikahannya, sepuluh tahun yang lalu.

Selamat ulang tahun sahabatku tercinta.
Selamat ulang tahun juga bagi pernikahanmu. Semoga kau mendapatkan kebahagiaan dalam hidupmu. Dan dapat menapaki sisa-sisa harimu dengan limpahan rahmat dan berkah dari Nya. Amien.


Nie Troozz

Monday, July 04, 2005

Sujud Itu dalam Hatiku

Sebuah kecupan hangat di keningku, membangunkan aku dari mimpi indahku.

“Selamat ulang tahun, Ma”.

Kubuka mataku, samar kulihat jam dinding menunjukkan tepat pukul 00.00. Kulihat wajah teduh suamiku tersenyum manis padaku. Hari ini, ya tepat di hari ulang tahunku, ucapan pertama dan kecupan hangat itu datang dari suami tercintaku. Suatu awal yang indah dalam menapaki tahun baruku. Tahun yang harus aku mulai dengan lebih berhati-hati dalam melangkahkan kakiku.

***

Dua belas tahun yang lalu, tepatnya bulan Maret 1993, awal perkenalan dengan suamiku.
“Kang, ada temenku yang pake jilbab lho, tapi di Bekasi. Katanya Akang lagi cari ceweq yang pake jilbab. Nih liat fotonya.”
Itu promosi pertama sahabatku yang kebetulan ditempatkan bekerja satu ruangan dengan seseorang, yang sekarang jadi suamiku, di Kota Kembang, kota kelahiranku. Sedangkan aku pertama kali ditempatkan bekerja di Bekasi, kota yang panas, gersang, sibuk, sesibuk kota tetangganya, Metropolitan.

“Hallo Nie, pa kabar,” sahabatku suatu hari menelepon. “Ada yang pengen kenalan nih.” Lalu gagang telepon pun diberikan pada seseorang. Hanya perkenalan biasa.

Esoknya, ada lagi telepon dari dia. Pagi sekali dia sudah telepon, hanya say hello. Siang hari juga dia telepon lagi. Setiap hari dering telepon dari dia tak pernah berhenti. Hanya say hello, atau hanya menanyakan sudah makan atau belum, sampai ngobrol panjang lebar tentang pekerjaan dan kehidupan pribadi. Dia sendiri sudah melihat wajahku dari fotoku yang ada di arsip kantor dan sejumlah cerita tentang diriku dari sahabatku. Sedangkan aku belum tahu bagaimana rupa dan penampilan dia sesungguhnya. Hanya sedikit cerita tentang kehidupan dia dari bosku yang dulu pernah juga menjadi bosnya.

Dua bulan sudah kami hanya kenal di udara. Hingga suatu hari dia ingin berkunjung ke rumahku. Bulan Mei itulah awal perjumpaanku dengannya. Pria berkulit putih, berkacamata, bertubuh atletis, berpakaian rapi, kini telah berada di hadapanku. Sedangkan aku selalu berpenampilan cuek, celana jeans belel dan t-shirt panjang. Mungkin dia juga tidak membayangkan aku yang berpenampilan seperti itu.
Hmm…. Hanya suaranya saja yang telah akrab di telingaku, sedangkan di hadapannya aku masih terasa asing.

Pada kunjungan pertama ini dia langsung mengajak jalan. Ups… meskipun merasa sudah akrab, tapi untuk jalan rasanya terlalu cepat. Aku akhirnya berpura-pura sudah punya acara lain dengan ibuku. Akhirnya hanya kunjungan singkat, dan berlalulah dia dari tempat tinggalku.

Ahh…. Penampilan yang terlalu rapi. Aku suka yang rapi tapi agak cuek. Suka humor dan tidak terlalu kaku. Sungguh pertemuan pertama yang kurang mengesankan.

Dering telepon tak pernah absen setiap hari. Tukang pos pun tak pernah bosan mengirimkan surat darinya untukku. Berlembar-lembar cerita dan nasehat selalu ia tulis untukku.

Lama kelamaan luruhlah hatiku. Nasehat-nasehatnya dalam setiap suratnya, dapat membuat hidupku berubah. Merubah paradigma hidupku, yang selama ini selalu memikirkan “emansipasi kaum wanita” yang sebenarnya sekarang sudah melenceng dari yang seharusnya. Dia dapat merubah fikiran tentang bagaimana seorang wanita dalam mencapai surganya. Kedekatanku makin berarti. Makin banyak hal yang kudapat dari dia.

Hingga suatu hari, dia mengajakku untuk menikah. Usia dia sudah cukup matang untuk menikah, dua puluh tujuh tahun. Sedangkan aku waktu itu masih berumur dua puluh dua tahun. Rasanya masih terlalu muda untuk membangun sebuah mahligai rumah tangga. Tapi dengan sebuah niat yang suci, akhirnya kami melangsungkan pernikahan pada tahun 1994.

***

Sebelas tahun sudah aku hidup bersamanya. Sebelas tahun sudah kunikmati manis dan pahitnya kehidupan ini. Kini dia di sampingku. Dia yang selalu hadir tatkala hatiku gundah. Dia yang selalu menghibur tatkala hatiku sedih. Dia pula yang sabar merawatku tatkala aku sakit. Dia adalah pemimpinku, pemimpin keluargaku. Dia nakhoda yang akan membawaku berlayar mengarungi lautan kehidupanku.

Tanggung jawab nakhoda itu sungguh berat, dia harus meluruskan jalannya kapal supaya tidak oleng. Dia harus tetap bisa menegakkan kapal walaupun hujan dan badai terus menghadang. Dia harus memimpin anak buah kapal agar sesuai aturan yang telah ditetapkan. Dia harus membawa kapal itu ke suatu tujuan. Tujuan akhir kehidupan ini yang lebih indah, lebih kekal, lebih nikmat dari dunia dan seisinya. Surga.

Karena beratnya tanggung jawab itu hingga Rasulullah pernah bersabda yang isinya kurang lebih begini, jika diperbolehkan seseorang untuk menyembah orang lain, maka akan aku perintahkan isteri untuk sujud pada suaminya.

Sungguh, teramat berat tanggung jawab seorang suami. Dia bertanggung jawab atas kelangsungan hidup keluarganya. Dia bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anaknya. Dia takkan pernah bosan mengingatkan anggota keluarganya untuk selalu meluruskan jalannya. Agar tujuan akhir itu akan tercapai bersama-sama.

Jadi tidak berlebihan jika Rosul ingin menyuruh istri untuk sujud pada suaminya. Dan jika Allah tidak memperkenankan, maka sujud itu ada dalam hatiku saja.


Juni 2005

Nie Troozz

Friday, July 01, 2005

Sebening Mata Air di Surga (bagian-III-tamat)

Semua kegiatan Ikatan Remaja Mesjid itu makin mempererat hubungan antara Denys dengan Riri. Tapi mereka tidak pernah berpacaran berdua-duaan layaknya para remaja saat ini. Mereka selalu bersama teman-temannya dalam berbagai acara. Adakalanya Denys pun berkirim surat jika ada sesuatu hal yang perlu dibicarakan berdua. Dan suratnya itu langsung diberikan ke tangan Riri. Mereka ingin berpacaran secara islami, yang tidak mengumbar hawa nafsu sebagai bentuk curahan kasih sayang.

Saat sedang membersihkan mesjid, yang selalu rutin dilakukan oleh remaja mesjid itu, Denys menghampiri Riri. Saat itu Riri sedang membersihkan daerah mimbar tempat khotib memberikan ceramahnya.

“Ri, semalam saya bermimpi. Kamu menjadi istri saya dan kita punya rumah yang sangat sederhana. Kita tidur di atas bale-bale kayu yang keras dan dingin. Tapi kamu setia di samping saya”, Denys menarik nafas panjang. Riri hanya terdiam mendengarkan.

“Seandainya hal itu benar-benar terjadi, apakah kamu tetap mau jadi istri saya ?”.
Hening. Tak ada suara. Riri tak tahu harus menjawab apa, hanya bergumam dalam hati,
“Itu kan hanya mimpi, tapi jika Allah yang menghendakinya, Riri harus siap apa pun yang terjadi.”

Terlalu dini memang membicarakan hal itu. Tapi saat ini Riri merasa sudah sangat dekat dengan Denys. Memang tidak ada manusia yang sempurna, tapi di mata Riri, Denys adalah manusia yang sangat sempurna. Dia bisa membimbing Riri dan anak-anaknya kelak di jalan Allah.

“Anak-anak ? Terlalu jauh kamu Ri”, hanya hati Riri yang tidak bisa diam memikirkan semua ini.

“Ri, maukah kamu menikah denganku ? menjadi ibu dari anak-anakku ? Kita tidak boleh terlalu lama berdekatan. Kita tidak tahu jika tiba-tiba kita diganggu syetan dan syetan akan merusak segalanya.” Antara sadar dan tidak Riri mendengar kata-kata Denys itu.

“Tapi Riri mau kuliah dulu, Kang” ada rasa ragu untuk mengiyakan ajakan Denys itu.

“Kamu masih bisa meneruskan kuliah setelah menikah. Menikah bukan sesuatu yang akan menghalangi cita-cita kamu. Menikah adalah ibadah. Dengan menikah kita akan lebih terjaga”, Denys mencoba meyakinkan Riri.

Riri tidak bisa mengambil keputusan, “Mungkin Akang lebih baik bicara dengan orang tua Riri saja. Riri percaya Akang bisa membimbing Riri dunia akhirat. Tapi semua keputusan ada di tangan orang tua Riri”.

Awalnya orang tua Riri kaget dan tidak setuju dengan niat anaknya. Bagi mereka sekolah adalah nomor satu. Dengan penuturan yang halus dan cukup mengagumkan dari Denys, akhirnya orang tua Riri pun memberikan do’a restunya.

Tak ada acara tunangan, karena itu bukan merupakan ajaran Islam. Langsung saja ditentukan hari pernikahan keduanya. Hanya pesta walimahan yang sederhana. Mereka tidak ingin berpesta pora menghabiskan uang puluhan juta untuk merayakan pernikahan mereka. Mereka ingin memulai hidup baru dengan sederhana.

Disela-sela persiapan pernikahan, tiba-tiba Kang Yayan, sahabat Denys, mendatangi rumah Riri. Dengan wajah berseri-seri Riri menyambut kedatangan Kang Yayan.
“Pasti ada pesan dari Kang Denys. Calon pengantin kan tidak boleh bertemu sebelum hari “H”," begitu yang ada dalam fikiran Riri.

Kang Yayan berusaha tersenyum, walau kelihatan seperti dipaksakan.
“Gimana persiapannya ?.” Kang Yayan membuka pembicaraan.
“Sedikit lagi Kang, tinggal dekorasi kamar pengantin. Yang masak banyak banget, ibu-ibu se-RW kayaknya tumplek semua Kang”, dengan berseri-seri Riri bercerita tentang persiapan pesta sederhananya.

“Ri, kuatkan hatimu ya”, Kang Yayan menarik nafas panjang dan berat sekali.
Matanya berkaca-kaca. Tak kuasa dia mengucapkan kalimat berikutnya.
“Denys meninggal satu jam yang lalu, tertabrak bis kota”.

Pandangan Riri langsung gelap, segelap hatinya. Riri langsung tak sadarkan diri mendengar kabar itu. Orang tua dan semua yang hadir di situ pun tak kuasa menahan tangisnya. Hingga berubahlah rumah yang sudah berhias itu dengan hujan tangisan kepiluan.

Lama Riri tak sadarkan diri. Ketika matanya terbuka, dia langsung memanggil Denys dengan lirih “Kang Denys, innalillaahi wa inna ilaihi roji’un”.
Riri berusaha bangkit dan mencoba tegar. Butir-butir air mata bening tetap tak tertahankan.
“Tapi aku harus tegar, aku tidak boleh meratapi kepergian Kang Denys. Allah telah memanggil orang yang dicintaiNya lebih cepat, tak kuasa diri ini menghalangi walau diri ini juga mencintainya. Pergilah Kang, Riri ikhlas.”

Sedikit demi sedikit para penggali itu memasukan tanah ke dalam kuburan Denys. Butir-butir tanah menutupi jasad Denys, semakin lama semakin banyak dan tak tampak lagi jasad itu. Tertimbun tanah, dalam, dingin, gelap, pekat. Tak layaklah kita meratapi jasadnya, karena dia pun tengah bersiap-siap mempertanggungjawabkan semua amal perbuatannya di dunia ini.

Butir-butir bening air mata Riri, jatuh membasahi gundukan tanah merah itu.
“Kang Denys, jika Allah berkehendak lain, tak ada daya dan upaya kita tuk menolaknya. Semoga Akang bahagia di alam sana. Tunggulah Riri akan segera menyusul ke sana. Kita akan berbahagia di sana selamanya. Kita akan berkumpul lagi di alam nan abadi. Bening air mata ini, tak ada nilainya sama sekali jika kita akan menikmati beningnya mata air di surga sana. Kita akan bersama-sama menikmati beningnya mata air di surga itu, bersama, selamanya.”


Bandung, Juni 2005

Nie Troozz